Lima tahun yang lalu ...
Bel sekolah berbunyi lima menit lalu. Seluruh siswa baru sudah rapi di barisan masing-masing untuk apel pagi sebelum masuk ke kelas. Acara MOS sudah selesai, kini mereka mulai mengikuti kegiatan belajar mengajar seperti senior-senior mereka di kelas XI dan XII.
“Ada yang bening nggak?” Suara Svarga menggelitik telinga Bima yang tengah meihat ke arah lapangan basket sekolah mereka yang kini digunakan untuk apel pagi para anak kelas X.
Bima mengendikkan bahu. Netranya menyapu ke arah anak-anak baru yang terlihat masih sangat bersemangat sekolah mengenakan seragam baru mereka, putih abu-abu.
“Aku lagi bingung cari orang buat lawan mainku besok di HUT sekolah. Bu Runi nyuruh aku nyari sendiri pasangannya, gara-gara kesel aku nolak semua lawan main yang beliau sodorkan,” keluh Bima.
Svarga terkekeh. “Habisnya, kamu juga yang aneh. Dipilihin si Ratu sekolah nggak mau. Dipilihin si Model itu nggak mau. Bahkan Aira anaknya Bu Runi aja kamu tolak. Ya wajar beliau kesel.”
“Ga, kamu tahu sendiri, lakon-nya nanti itu Raden Bima sama Dewi Arimbi. Sesuai karakternya, yang meranin Dewi Arimbi juga harus cocok sama karakternya, tinggi, gede. Aku nggak butuh cantiknya, percuma si Aira, si Anya, si Karenina, yang mainin, kalau tinggi mereka aja cuman segitu. Kita cari cast raksasa. Bukan tuyul.”
Svarga terpingkal. Jarang sekali ia melihat Bima sekonyol itu. “Ya udah cari aja tuh di antara anak-anak baru. Kali aja ada yang bisa diajakin. Pokoknya harus sukses ini acaranya.”
Obrolan itu terus terjalin sampai beberapa anak baru mulai naik ke tingkat tiga, melewati dua orang di sana. Bima dan Svarga berdiri di samping pagar dan menatap ke arah anak-anak baru yang berlarian. Hingga ketika suasana mulai sepi, sayup-sayup terdengar suara tiga gadis yang tengah berbincang dari arah tangga.
“Rim, ajarin nembang, dong. Keren banget kamu kemarin. Untung aja sih pas itu kamu bisa, jadi kelompok kita bisa pulang cepet.”
Suara tawa renyah terdengar. “Ya, untung dulu pernah diajarin sama papa. Aku sering denger papa nembang kalau di rumah, pas lagi gabut gitu.”
“Gabutnya papamu berfaedah, bermuatan lokal,” sahut suara lain.
“Ah, tali sepatuku.” Terdengar keluhan lain.
Mata Bima dan Svarga mengarah ke tempat yang sama. Dua gadis berwajah serupa dan satu gadis tinggi berjalan dari arah tangga ke arah mereka. Masing-masing membawa setumpuk buku.
“Rim, bantuin dulu tolong. Aku mau benerin sepatu bentar,” rengek salah satu dari si kembar.
Svarga tidak mengedipkan matanya. Sosok mungil berkulit putih dengan rambut dikuncir satu yang tengah mengerucutkan bibir karena kesal tali sepatunya lepas, menjadi sasaran tatapnya. Sementara, Bima pun sama. Sosok gadis tinggi yang berdiri di antara dua anak kembar itu menjadi titik fokus netranya.
Salah satu di antara ketiga anak kelas X itu menyadari tatapan aneh kakak kelas terhadap sahabat dan kembarannya. Ia pun memberanikan diri bertanya.
“Kenapa ngeliatin, Kak? Ada yang aneh sama mereka?” tanya Gantari.
Gauri dan Arimbi yang tadi tidak menyadari jika mereka menjadi titik sasaran penglihatan dua seniornya, kini menoleh.
Svarga menyenggol Bima. Pemuda itu akhirnya buka suara. “Kamu, namamu siapa?”
“Saya? Arim. Arimbi.”
Netra Bima dan Svarga seketika membulat. Arimbi? Serius? batin Bima.
“Kamu mau ikut ngisi acara pentas ulang tahun sekolah nggak? Kalau mau, nanti pas istirahat cari aku, di XI sosial dua.”
Arimbi dan dua temannya masih bingung. Svarga yang tadi berdiri di depan Bima, kini berjalan mendekati sosok yang menarik perhatiannya. Ia berjongkok dan membantu menalikan sepatu milik adik kelasnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SMARA CARITA
Romansa"Aku tahu epos Mahabaratha lebih masyur, tapi kisah Bima dan Arimbi kita ini, lebih indah. Karena aku, Bimasena di dunia nyata, hanya mempersunting satu gadis untuk selamanya. Tak berulang kali, seperti yang dilakukan oleh Bimasena, dalam kisah Pand...