Bab 13. Tentang Cinta

228 36 21
                                    

Dua bersahabat yang tengah duduk di warung kopi langganan mereka, kini menatap ke arah yang sama saat sosok mungil dengan baju serba hitam muncul. Dewi, sosok itu mengulas senyum sebelum duduk di samping Svarga.

“Matamu kayak kodok, Dew,” komentar Svarga tanpa dosa.

Dewi yang biasanya akan membalas dengan serentetan kata penuh makian, hanya menghembus napas saja.

“Aku keterima kerja di Solo. Kalian gimana?” Justru kalimat itu yang muncul dari bibir sang dara.

Bima dan Svarga seketika menatap Dewi penuh binar. “Selamat Nyai!” ucap keduanya.

“Tapi kok, mukanya ditekuk gitu. Kenapa? Harus bayar duit pelicin dulu sebelum keterima kayak perusahaan yang aku lamar kemarin?” selidik Svarga.

Dewi menggeleng. “Kalau aku pindah ke Solo, artinya aku nggak bisa nengok Mas Arun lagi.”

Mendengar nama Aruna, ketiganya jelas sangat sedih. Bagaimana tidak, dosen pembimbing kesayangan mereka harus meregang nyawa di depan mata mereka.

“Aku yakin ini ada hubungannya sama Shaka.” Mata Dewi terlihat berkilat, mengisyaratkan kebencian.

Bima menatap teman masa kecilnya dengan seksama. “Kenapa Shaka?”

“Siapa lagi sih yang suka ngerusuhin kita kalau bukan Shaka? Aku udah coba buat nemuin dia tapi cecunguknya dia selalu ngalangin. Mereka bilang Shaka nggak mau lagi ketemu aku. Pernah kami nggak sengaja papasan di mini market dan dia malah ngatain aku ngemis cintanya. Ngemis buat ngajak balikan. Gila emang. Aku benci banget sama dia.”

Svarga menyesap kopi hitamnya, ia melirik Bima dengan tatapan jengah. Gue bilang apa, gue juga mikir gitu. Gue yakin pelakunya Shaka, tapi Bima malah bisa-bisanya percaya kalau bukan Shaka yang ngelakuin, batin Svarga.

“Dew, Shaka emang suka resek tapi kali ini kayaknya bukan dia deh. Kan yang diserang kamu sama Mas Arun. Siapa tahu orang itu punya masalah sama Mas Arun,” kata Bima.

Dewi menggebrak meja. “Bim, kamu pikir Mas Arun orangnya kayak apa? Tukang bikin gara-gara?  Mas Arun itu orang baik. Baik banget dan nggak pernah neko-neko. Dia nggak pernah liar kayak kalian. Dia itu orang baik-baik.”

Bima sedikit kesal dengan Dewi yang terlihat melebih-lebihkan sosok Aruna. Bukan apa-apa, rasanya tidak baik saja terlalu memuja seseorang tanpa mau mengakui jika orang yang ia kagumi juga punya kelemahan.

“Kamu kan nggak kenal Mas Arun Dew. Kita cuma tahu dia di kampus. Di luar kampus, kita nggak tahu apapun soal dia. Masa lalunya juga kita nggak tahu. Nggak semua orang baik punya masa lalu yang baik juga.”

Dewi tetap saja tidak terima. “Kayak kamu maksudnya? Kamu yang suka nge-bully Arimbi dulu pas SMA terus sekarang jadi baik sama Arimbi, gitu? Jangan banding-bandingin diri kamu sama Mas Arunku!” sentak Dewi.

“Siapa yang nge-bully Arim sih? Siapa yang bilang kalau aku nge-bully Arim?” Bima terlihat tak terima.

“Banyak saksinya. Si Kembar, Aga, bahkan Arim sendiri.” Dewi tak mau kalah.

“Kapan aku nge-bully Arim?” Bima mulai terpancing. Emosinya hampir bangkit, tetapi sebuah sentuhan di pundak membuat laki-laki itu merasakan ketenangan.

“Kenapa Mas, kok ngegas?” Pertanyaan lembut dari sosok yang sudah ia tunggu dari tadi, terdengar.

“Ini nih, dia nggak ngaku kalau dia pernah nge-bully kamu.” Dewi mengadu.

SMARA CARITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang