“Dek.”
Lirih panggilan Aruna tak terdengar oleh rungu sang adik. Sudah ketiga kalinya, hingga akhirnya dosen muda itu memaksakan diri menggeser tubuh sedikit agar tangannya bisa menyentuh tangan adiknya.
Jemari dingin sang kakak yang menyenggolnya membuat Arimbi tersadar dari lamunan.
“Eh, kenapa Mas? Minum?” tanya Arimbi.
Aruna menggeleng lemah. “Kenapa?” tanyanya dengan suara parau. Laki-laki itu masih terbatas gerak tubuhnya. Mengeluarkan suara sedikit keras saja membuat pelipisnya berdenyut nyeri. Itulah kenapa ia berbicara lirih satu dua patah kata.
Arimbi menggeser kursinya mendekat. Ia letakkan kepalanya di ranjang sang kakak, berdampingan dengan laki-laki yang serupa dengannya itu.
“Mas, apa mas udah inget kenapa mas bisa dikeroyok?”
Aruna menyentuh pipi sang adik. “Aku nggak tahu. Nggak kenal mereka.”
“Ini ... gara-gara Mas Bima kan? Mas Bima yang udah bikin musuhnya nyerang Mas, kan?”
“Sudah nggak usah dibahas. Bukan salah Bima. Ini takdirku.”
Aruna terlihat begitu ikhlas menerima apa yang terjadi padanya meski ia harus menjalani rehabilitasi medik untuk beberapa waktu ke depan pasca tak sadarkan diri selama satu bulan ini. Ia giat melakukan terapi dan menuruti semua anjuran dokter yang merawatnya. Satu keinginannya, ia harus bisa segera pulih atau setidaknya diijinkan untuk bisa kembali ke rumah sebelum hari spesial yang ia tunggu datang.
“Dewi nggak telpon kamu?” tanya Aruna.
Arimbi menggeleng. “Sibuk mungkin, Mas. Namanya juga anak baru. Kemarin sih sempat curhat katanya bulan depan dia baru bisa tanda tangan kontrka. Jadi tuh, bulan ini dia hanya dapat uang lelah aja gitu. Belum mulai kontrak resminya. Apa sih sebutannya? Pegawai trainning ya?”
Aruna tersenyum tipis. Satu tangannya menggenggam benda yang ditinggalkan Dewi untuknya. Butiran kayu cendana kecil yang dirangkai berjumlah sembilan puluh sembilan dengan masing-masing penyekat setiap tiga puluh tiga butir. Aruna melatih jemari kananya dengan benda itu agar bisa kembali berfungsi sempurna.
“Kamu tahu di mana alamat kosnya?”
“Tahu, kenapa Mas?”
“Kirimin dia makanan, kira-kira nanti kalau dia udah pulang kerja. Pakai aplikasi biasa.”
Aruna menghirup udara banyak-banyak pasca berbicaranya begitu panjang. Napasnya tersengal-sengal.
“Bentar lagi dia balik, Mas.” Arimbi mengerutkan kening sebelum ia tersenyum lebar. “Mas suka sama Kak Dew ya?”
Aruna mencubit hidung adiknya lemah. “Bima katanya mau lamar kamu, bunda yang bilang.”
“Ih, kok malah ngalihin pembicaraan sih? Aku tanya Mas suka sama Kak Dew apa enggak, malah ngomongin mas Bima. Mana ada mas Bima mau ngelamar. Kami cuman pacaran aja, tapi nggak mikir ke sana.”
Aruna mengelus pipi adiknya. “Bima baik, Dek. Tapi, kamu nggak boleh ngelangkahin aku.”
“Mas mau nikah duluan? Kan yang dijodohin aku, emangnya mas udah punya calon?” tanya Arimbi panjang lebar.
Aruna tersenyum. “Hu allahu alam, Dek. Jodoh kan nggak tahu kita kapan datangnya. Tapi, kalau bisa, aku pengen nikah duluan. Biar nggak malu-maluin juga, umur kita beda jauh tapi kau ngelangkahin aku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
SMARA CARITA
Romantizm"Aku tahu epos Mahabaratha lebih masyur, tapi kisah Bima dan Arimbi kita ini, lebih indah. Karena aku, Bimasena di dunia nyata, hanya mempersunting satu gadis untuk selamanya. Tak berulang kali, seperti yang dilakukan oleh Bimasena, dalam kisah Pand...