Bab 20. Diuji vs Diujo

202 33 16
                                    


 

Rasa lelah yang menyerang gadis berjilbab itu seketika hilang saat air dingin menyegarkan seluruh tubuhnya. Penatnya tak lagi terasa, pasca ritual mandi dan membersihkan diri usai.

Baru usai ia menjalankan ibadah salat isya, terdengar ketukan di pintu kamar.

“Dew, ada kiriman lagi. Makasih ya, aku juga dijatah. Makasih ya.”

Ucapan penuh haru terdengar. Tetangga kos Dewi memang bukanlah mereka para mahasiswi dari kampus elit di Solo. Bukan pula para pekerja di perusahaan besar. Ia memilih untuk mencari tempat kos murah yang bebas dihuni oleh siapapun. Satu bulannya ia hanya harus membayar dua ratus ribu rupiah, meski ada tambahan untuk iuran listrik dan air para penghuni.

Dalam satu pekarangan, ada tujuh petak kamar kos. Lima kamar di bagian dalam, dihuni oleh anak-anak muda yang kadang berganti-ganti membawa pasangan. Dua kamar lain salah satunya dihuni oleh Dewi dan Shaffiyah, seorang janda cantik yang tinggal bersama putranya.

“Makasih Ummah Shaf. Amr udah bobok ya?”

“Udah, dia kecapekan tadi. Kiriman dari siapa sih? Ayang ya?”

Dewi tersenyum. “Enggak punya ayang. Nggak boleh ayang-ayangan kan, Ummah.”

Masyaallah, solihah. “

“Ummah, aku punya cemilan, temenin aku makan dong. Sekalian nyemil, Amr aman kan di kamar sendiri?”

Shaffiya mengangguk. “Aman kok, tenang aja. Dia kalau udah tidur susah bangunnya.”

Dewi mengeluarkan box makanannya. Beberapa sudah ia berikan pada Amr, putra Shaffiya, tetapi masih banyak lagi stok lain. Tidak pernah habis karena para petugas mini market itu bergantian datang mengiriminya kebutuhan sehari-hari dan cemilan.

“Orang tuamu pasti sayang banget ya, hampir tiap hari loh ada orang nganter beginian. Suruhan orang tuamu, kan?"

Dewi yang tengah menyuguhkan cemilan dan minuman kaleng tersenyum kecut. Shaffiya seolah tahu ada yang tidak beres di sana.

“Ini bukan kiriman dari orang tuaku, Ummah. Ini dari keluarga baruku, dari keluarga sahabatku. Mamaku sudah meninggal sejak aku umur lima dan ayah menikah lagi setahun setelahnya. Sejak saat itu, ayah yang awalnya masih pulang sebulan sekali perlahan menghilang. Yang awalnya menelpon setiap malam hari, perlahan tinggal kenangan.”

Shaffiya seketika merasa tidak enak hati. “Astagfirullah, Dew, maaf ya.”

Dewi menggeleng. “Nggak apa-apa, Ummah. Santai aja. Aku menerima semuanya dengan senang hati. Ini memang takdirku kok. Jadi, harus aku terima dengan ikhlas. Lagian, sebagai gantinya Allah mengirimkanku tetangga-tetangga serasa saudara. Sahabat-sahabat serasa kerabat. Rejeki yang belum tentu Allah beri pada makhluknya yang lain, kan? Aku beruntung karena ketidakberuntunganku.”

Shaffiya tersenyum pada tetangga barunya yang sudah ia anggap adik sendiri itu. “Kamu benar, Dew, kita harus selalu berpikir positif, kita harus selalu berprasangka baik pada apapun yang terjadi dalam hidup kita.”

“Ummah, aku boleh curhat nggak?”

“Cerita aja, aku siap jadi pendengar,” jawab wanita itu bijak.

“Aku ditawari posisi cukup penting di perusahaan. Tadi, aku dipanggil nemuin salah satu maanjer. Beliau mau aku jadi sekertarisnya tapi ....” Ucapan itu digantung oleh Dewi.

Ia seperti ragu mengutarakan apa yang tengah ia pikirkan.

“Kenapa?”

Wajah polos nan ayu  itu menatap sendu pada Shaffiya. “Beliau nyuruh aku lepas jilbab. Kontrak yang awalnya akan turun tanggal dua puluh satu nanti, sudah beliau sodorkan. Nominal gajinya juga dua kali lipat dari gaji yang kemarin diberitahukan oleh pihak manajemen. Aku juga nggak paham kenapa aku dapat perlakuan khusus. Tapi itu yang berat Ummah, aku harus lepas jilbab.”

SMARA CARITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang