Ellio dengan langkah kaki kecilnya berjalan menyendiri menuju lapangan, tempat dimana anak-anak lainnya berkumpul. Lelaki kecil itu dengan tubuh kurus dan lusuhnya terlihat sangat kesepian. Bahkan tak ada satupun yang datang menghampiri.
Ellio juga tak berinisiatif memanggil mereka. Dia ingat, sewaktu berumur tiga, dia menatap penuh harap agar diajak bermain bersama mereka. Dia yang saat itu masih dianggap bayi sangat kecil dan lusuh sehingga tak ada yang mau mengajaknya. Mereka tanpa malu menghinanya. Bahkan menghina dia tidak punya ayah. Ellio sangat sedih ketika itu. Dia tak lagi berharap dapat bermain dengan mereka.
"Hei, Ellio! Kenapa kau kesini? Apa tak akan dimarahi ibumu lagi?" ujar seorang lelaki seumuran tiba-tiba. Kata-katanya nampak simpati tapi pada kenyataannya mengandung ironi.
Salah satu alasan lain Ellio jarang bermain selain tak ada yang mengajaknya, dia juga sering dimarahi ibunya karena mengira dia terlalu lama saat bermain. Padahal nyatanya tidak. Ellio kecil tidak pernah bermain, dia hanya mengintip anak-anak lainnya bermain.
Di kota kecil tanpa ada bangsawan ini, anak-anak biasanya sering berkumpul untuk bermain. Berbeda dengan gaya hidup bangsawan yang harus belajar-belajar-dan belajar keras. Mereka hanya akan bermain dengan sesama bangsawan. Karena itu jugalah, output masa depan mereka juga sangat berbeda.
Ellio hanya diam. Dia tak mau menjawab ejekan mereka. Dia mengalihkan pandang pada arah lain. Tetapi kebanyakan anak-anak akan menatapnya seakan menunggu untuk melihat leluconnya.
"Heh, jawablah! Kau tahu aku bertanya padamu!" Lelaki yang bertanya sebelumnya berseru marah.
"Yah, abaikan saja si bodoh itu, Tom!"
"Ya, ya, dia jarang bicara mungkin sekarang jadi bisu!"
Ellio tetap saja mengabaikan ejekan-ejekan itu. Dia sudah terbiasa. Dalam pikirannya saat ini hanya terbersit perkataan ibunya yang menyuruhnya untuk bermain. Sebenarnya, melihat sikap ibunya berubah Ellio ingin berlama-lama dengan ibunya. Dia takut itu hanya mimpi indah sesaat yang nanti akan pudar bila dia bangun. Ellio sangat takut jika benar seperti itu. Tapi jika dia pulang, akankah ibu akan memarahinya karena tidak patuh?
Lelaki bernama Tom-yang bertanya tadi-marah melihat dirinya diabaikan. Dia merupakan salah satu anak terbaik di Easvest Village ini, beberapa bulan lalu dia berhasil membangkitkan sihir tanah yang cukup kuat. Dia bangga dipuji. Semua orang menyebutnya bocah jenius.
Kalau Nevara atau anak kota-terutama bangsawan- mendengar ini, pasti akan tertawa terbahak-bahak. Khayalannya sungguh ketinggian. Tapi, di desa kecil tanpa ada orang yang benar-benar jenius, itu lumrah dianggap seperti itu. Tak apalah setidaknya dia adalah jenius di desa tersebut.
"Heh, dasar anak haram! Sudah miskin, jelek, tak punya teman lagi! Kalau mau tak mau jawab ya tidak masalah. Siapa yang mau berbicara denganmu lagi?! Heh!"
"Aku bukan anak haram!" Ellio jelas masih sabar jika itu hanya mengejek dirinya. Namun, jika itu melibatkan ayahnya-yang kata ibunya seorang prajurit terhormat yang gugur di medan perang-terus dia tak terima. Ellio yang masih kecil sulit mengendalikan diri sehingga emosinya langsung tersulut. Dia mengepalkan tangan dan langsung melayangkan pukulan ke wajah si anak sok jenius bernama Tom tadi.
Buk!
Tom langsung tersungkur. Dia terkejut. Matanya melotot marah. "Beraninya kau memukulku!"
Lelaki itu berdiri dan langsung membalas balik. Ellio tak bisa begitu saja dikalahkan. Dia memukul lagi. Perkelahianpun semakin memanas. Tom yang tampak akan mrnemui kekalahan mengangkat tangan meminta yang lain beramai-ramai mengeroyok Ellio.
Tom menjauh dan memobilisasi sihir tanahnya. Dia mencoba membuat sihir kecil-kecilan dari tanah yang dapat mempersulit langkah Ellio. Sebenarnya, itu sihir terbaik yang bisa dilakukannya. Maklumlah, dia juga baru belajar sihir.
Ellio-anak kurus plus tanpa mana- mana mungkin dapat melawan mereka ketika berkeroyok menghajarnya. Pada akhirnya, Ellio tetap dikalahkan. Kondisinya sangat buruk meski tidak mengalami luka dalam. Hanya luka fisik terutama wajahnya yang membentuk bulatan-bulatan yang membiru.
Demikian membuat Ellio sangat takut untuk pulang. Apakah ibunya akan memarahinya karena berkelahi lagi?
Lelaki kecil itu ingat setiap dia pulang membawa luka dia pasti akan dimarahi oleh Ibunya. Memarahinya karena menjadi anak tidak patuh. Memarahinya karena menambah masalah pada keluarga mereka yang sudah miskin. Memarahinya karena tidak dapat diatur. Dsb...
Apakah ibunya akan membencinya lagi?
***
"Ellio, apa yang terjadi padamu, Nak?" tanya Neva khawatir melihat wajah babak belur dan erang kesakitan Ellio.
Ellio menunduk takut. Dia takut ibunya tahu dia berkelahi dan pasti akan memarahinya. Tapi, Ellio yakin ibunya pasti sudah tahu dilihat dari wajahnya.
"Ma-maaf, bu! El-lio berkelahi lagi. Ja-jangan marah! Maafkan Ellio!" Ellio berkata tergagap dan terisak takut.
Neva tak tahan mendengar isak tangisnya yang memilukan. Wanita itu mencondongkan tubuhnya. Wajahnya menghadap Ellio berusaha tersenyum. Tangannya mengelus kepala Elio mencoba menenangkan. "Ibu tidak akan marah. Ibu tidak akan marah lagi. Ellio jangan takut lagi ya...,"
Neva juga tahu dari novelnya. Ellio sering dimarahi bahkan jika dia tak melakukan kesalahan. Apalagi jika ketahuan si jahat Nevara —terutama melihatnya babak belur sehabis berkelahi— pasti Ellio akan dimarahi habis-habisan. Bahkan akan dihukum dengan melarangnya makan, mandi, atau tidur di rumah. Si kecil itu harus tidur dalam kedinginan di malam yang gelap. Seburuk itulah hidupnya yang menjadikannya penjahat masa depan dalam novelnya.
Neva tanpa pikir panjang memeluk Ellio dengan penuh kasih. "Ellio jangan takut ya, ibu tidak akan marah lagi sama Ellio."
Ellio yang dipeluk untuk pertama kalinya merasakan kehangatan seorang ibu. Lelaki kecil itu mengulurkan tangan menyambut pelukan Neva. Hangat. Sangat nyaman.
"Ahh!" erang Ellio cukup keras.
Neva tersadar bahwa Ellio terluka spontan melepaskan Ellio dan menatapnya dengan penuh kekhawatiran. "Mana yang sakit? Biar ibu lihat!"
Melihat wajah dan beberapa bagian tubuh Ellio babak belur, Neva merasa sangat marah. Dia lupa bahwa Ellio kecil suka bermain tapi tak ada yang diajak bermain. Pasti ada yang memprovokasinya sehingga membuat Ellio memilih berkelahi.
"Baik, ibu akan oleskan obat merah!" seru Neva.
"Obat merah? Apa itu, Bu?" tanya Ellio penasaran.
Ah, Neva tersentak. Dia lupa bahwa dunia ini tak mungkin ada namanya obat merah. Mereka juga terlalu miskin untuk membeli ramuan hemostatik. Biasanya si pemilik tubuh asli Nevara saja hanya membiarkan Ellio sembuh dengan sendirinya. Tapi sekarang dia adalah Nevara Braverlyna bukan Nevara Parrish, mana mungkin dia membiarkan Ellio kesayangannya kesakitan. Dia harus mencari cara.
"Ah, itu seperti ramuan hemostatik, ya seperti itu!"
Ellio ber-oh ria mendengar jawaban Neva.
"Baiklah, Ellio duduk dulu. Ibu akan mencarikan obat!"
Neva segera berlari keluar dari rumah. Dia ingat rumah mereka dekat gunung kecil pinggiran hutan. Meskipun gunung itu kecil dan tak ada binatang buas, tetapi ada banyak tumbuhan obat atau ramuan. Ya, meski Neva tidak tahu bagaimana bahan ramuan hemostatik di dunia ini, setidaknya dia tahu bahan obat hemostatik sederhana di dunianya dulu (Ehm, meski dia bukan dokter). Semoga saja, ada nanti tanaman itu di dunia ini.
****
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mother Of The Villain [END]
FantasyNevara Braverlyna, seorang wanita lajang tiga puluh tahun yang juga merupakan desainer terkenal hendak menghadiri sebuah pameran busana kelas dunia, namun nahasnya pesawat yang ditumpanginya mengalami kecelakaan. Dia pun meninggal dalam kejadian ter...