Part 18 | New House

86.3K 12.1K 145
                                    

"Jenderal, ada info dari departemen penjualan perumahan."

Duduk di meja kebesarannya, Algerion membuka surat kecil yang baru saja diberikan sekretarisnya. Lelaki itu membacanya singkat lalu segera membakarnya dengan sihir, sampai abunya terbang terbawa angin. Seulas senyum tanpa sadar terbit di bibirnya. Mereka telah tiba!

Di sisi lain, sebagai bawahan, Calvin terheran melihat tingkah Jenderalnya itu. Sebelumnya sang Jenderal menyuruhnya memerintahkan departemen penjualan perumahan agar melapor jika ada seseorang yang bermarga 'Parrish' membeli rumah. Hanya melapor saja tanpa mengganggu transaksi mereka, begitu titahnya.

Dan sebagai sekretaris profesional, ingatan Calvin cukup kuat. Lelaki itu ingat kalau Jenderal dulu pernah mencari seorang wanita bermarga 'Parrish', namun tidak ditemukan sampai setengah tahun kemudian akhirnya pencarian itu diberhentikan. Tentu saja, pencarian itu secara rahasia, hanya dia dan beberapa bawahan kepercayaan sang Jenderal saja yang tahu.

"Lalu, Jenderal, apakah kita akan menangkap seseorang bermarga 'Parrish' itu?" tanya Calvin kemudian. Dari analisisnya, departemen telah memberi info, bukankah berarti seseorang bermarga Parrish itu telah ditemukan?

"Siapa yang memberimu keberanian menangkapnya?" Tatapan tajam Algerion sontak terhunus ke arah sekretarisnya itu.

Calvin menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Ah, tidakkah Anda pernah mengatakannya lima tahun lalu?"

"Ingatanmu cukup bagus, Calvin!" puji Algerion singkat, lelaki itu melanjutkan, "Tapi aku tak bermaksud menangkapnya sekarang."

Calvin mengangguk paham. Tak bertanya lebih banyak lagi jika sang Jenderal tak mau menceritakannya. Ingat, lagipula dia hanya bawahan, okay?

"Rahasiakan semua ini!" Ingat Algerion sebelum menyuruh sekretarisnya pergi.

***

"Ibu, inikah rumah baru kita?" Ellio bertanya sambil menatap rumah di depannya dengan kagum.

Neva membawa barang yang baru diturunkannya dari kereta, lalu ikut memandang rumah yang berukuran standar itu. Memang mahal sewanya, tapi sepadan menurutnya.

"Iya, Sayang! Apakah kau suka?"

Ellio memandang ibunya dengan berbinar. "He'eum, ibu! Rumahnya bagus sekali!"

Meski bukan pertama kalinya Ellio melihat rumah yang bagus, tetapi rumah di depannya ini akan menjadi rumahnya. Dan rumah ini lebih baik dari rumah sebelumnya, membuat lelaki kecil itu bahagia. Memikirkan kembali kasur empuk di penginapan, Ellio tak bisa tak menantikan apakah kasur di rumah baru akan empuk juga?

"Ayo, masuk!" Neva mengajak putranya masuk, tak lupa membawa barang bawaannya.

Ellio menyahut dengan riang, penuh ketidaksabaran. "Ayo!"

Setelah kunci rumah dibuka, Ellio tanpa sadar berlari mendahului ibunya, mengamati ruang dengan binar yang tak luput dari matanya.

"Waaah!" kagum si kecil itu.

Neva sendiri mengangguk puas melihat tempat ini. Walau hanya menyewa, setidaknya tempat ini seratus kali lebih baik dan layak dari pada tempat tinggal sebelumnya. Neva tahu kalau rumah di Easvest Village itu sudah menjadi miliknya, karena sebelumnya pemilik tubuh asli sudah membelinya walau dengan harga murah. Lagipula, rumah sebobrok itu, di desa kecil pula, apakah mungkin harganya mahal? Tidakkan!

"Ibu, kita punya kursi empuk!"

Neva mengalihkan pandangnya pada putranya yang duduk sambil meloncat-loncatkan pantat kecilnya di sofa. Dibandingkan sofa di kediaman bangsawan, sofa di rumah sewanya ini bukanlah apa-apa. Tetapi untuknya dan Ellio yang termasuk masyarakat kelas bawah, itu sudah mewah. Walau di dunia modern dulu Neva sudah peenah menikmati sofa kelas atas sih—yang saat ini mungkin setara dengan kelas bangsawan. Tapi kan sekarang sudah beda dunia... Beda juga kastanya!

Lagi-lagi Neva hanya bisa menghela nafas. Seandainya Ellio dulu kembali ke keluarga besarnya, lelaki kecil itu pasti bisa menikmati kemewahan sejak awal bukan?

Tapi, tidak-tidak!

Neva menggeleng, menyangkal pikirannya. Kembali ke keluarga besar bangsawan itu pasti hanya akan membuat Ellio kecil sengsara. Neva jelas tak terima!

"Ayo, kita lihat kamarnya Sayang!"

Mendengar perkataan ibunya, Ellio yang tadinya lupa segera ingat, bukankah dia ingin sekali melihat tempat tidur di rumah barunya ini?! Apakah seempuk di penginapan?!

"Wah, lebih bagus dari yang ada di penginapan!" Ellio berseru senang.

Neva juga menyetujui perkataan putranya. Penginapan yang ditinggali sebelumnya saja merupakan penginapan peringkat rendah, maklumlah kalau kamarnya sangat sederhana, tetapi bagi mereka itu sudah dapat dikatakan bagus. Namun, Neva akui kamar di depannya ini lebih baik dari pada dipenginapan sebelumnya. Karena itu, dia sangat puas dengan rumah sewa ini.

"Benar, lalu apakah Ellio ingin memilih kamar ini atau kamar lain?" Neva bertanya tak lupa dengan senyuman pengertiannya, tangannya mengelus lembut kepala Ellio.

Ellio tertegun, lelaki kecil itu berbalik menatap ibunya sedih. "Apakah Ellio punya kamar sendiri, Bu?"

Lelaki kecil itu menunduk, berkata dengan suara sangat pelan, tersirat rasa sedikit takut disana. "Tapi... Ellio masih ingin tidur sama ibu."

Neva menghela nafas kasar. Tampaknya lelaki kecil ini tak terpisahkan olehnya. Neva juga memahami pikirannya. Ellio baru saja menerima kasih sayang ibunya, tak mungkin akan mau melepaskannya begitu saja.

Neva akhirnya merunduk, menyejajarkan diri dengan si kecil. "Ellio, meski Ellio punya kamar sendiri tapi Ellio masih boleh kok tidur sama ibu."

"Mempunyai kamar sendiri berarti Ellio dapat menyimpan barang-barang yang Ellio sayangi di kamarnya nanti. Dan kalau besar, pasti Ellio harus tidur sendiri kan?" lanjut Neva mencoba memberi pengertian.

"Baik, Bu! Ellio pasti tidur sendiri kalau sudah besar!" jawab Ellio riang setelah mendengar perkataan ibunya.

"Baiklah, sekarang kita membereskan barang dulu setelah itu membersihkan rumah bersama-sama, apakah Ellio siap?"

"Siap, Bu!" Ellio menjawab lantang dengan suara kekanak-kanakannya yang menggemaskan. Tentu saja, si kecil itu suka melakukan tugas bersama ibunya.

****

Tbc.

Mother Of The Villain [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang