Sinar bulan purnama mengiringi seorang gadis kecil berjalan keluar dari sebuah pondok di tengah hutan. Tudung merah yang dikenakannya terjuntai lemas di bahu, menutupi gaun putih yang dipenuhi noda darah di sana-sini. Tertatih-tatih ia berjalan sembari menyeret sebuah kapak dengan kedua tangannya. Usianya tidak lebih dari dua belas tahun. Postur tubuhnya biasa saja, seperti umumnya anak-anak perempuan seusianya. Bahkan, kapak itu hampir setinggi pinggangnya. Sulit dipercaya bahwa, beberapa menit lalu, ia baru saja mengayunkan kapak itu untuk mempertahankan hidupnya.
“Itu! Itu Scarlet! Dia selamat!” Terdengar warga Desa Chartain berseru-seru.
Gadis itu menyipitkan mata. Tangan kanannya melepaskan pegangan, lalu terangkat menutupi wajah. Setelah beberapa jam lamanya ia terjebak dalam pondok gelap di belakangnya, cahaya lentera yang dibawa warga desa terasa menyilaukan mata. Perlahan, ia mengangkat kepala. Di tengah remang api lentera, wajahnya nyaris tidak dapat dikenali warga desa. Wajah kecil berpipi bundar itu coreng-moreng oleh noda darah, tanah, dan air mata. Di hadapan mereka gadis kecil itu berdiri, terengah-engah dan gemetar bagai seekor kelinci yang terpojok.
Namun, ia tahu ia aman sekarang.
Dengan tatapan kosong, gadis itu memandangi satu-persatu orang yang mengelilinginya. Begitu ia mendapati sosok-sosok familier di antara kerumunan itu, sebuah senyum tipis kelegaan muncul di bibirnya. Ketika akhirnya ia melihat ibunya, segera mulut gadis kecil itu terbuka tanpa suara. Ia terlalu lelah untuk berbicara. Kapak lepas dari genggaman tangan kirinya, lalu jatuh berdentam di samping kakinya. Hampir bersamaan, tubuh gadis itu terhuyung jatuh ke depan ketika kesadaran akhirnya meninggalkan dirinya.
“Scarlet!”
Sebelum tubuh gadis kecil itu menghantam tanah, seorang wanita berlari dan mendekapnya. Tanpa dikomando, kerumunan itu mendekat dengan khawatir, sembari tetap menyediakan cukup ruang bagi wanita tersebut dan putrinya. Seorang pria berusia setengah baya dengan sebuah tas kulit berjalan membelah kerumunan, lalu berlutut dan memeriksa gadis kecil itu.
“Dia akan baik-baik saja.” Dokter desa itu berujar. “Tidak ada cedera yang parah di tubuhnya. Setelah luka-lukanya diobati, biarkan dia beristirahat. Besok atau lusa dia akan pulih.”
“Oh, syukurlah!” Ibu Scarlet tidak dapat menahan air matanya. Ia dekap putrinya erat-erat, seakan gadis itu akan terbang bila dilepaskan. Dengan dibantu oleh beberapa orang warga, dibawanya Scarlet pulang.
Dua orang yang masih tinggal memandangi kepergian pasangan ibu dan anak itu sampai ke desa. Begitu pasangan ibu-anak itu memasuki gerbang dengan selamat, barulah keduanya mempersiapkan senjata masing-masing dan pergi memasuki pondok. Keduanya adalah laki-laki yang kekar, orang-orang andalan di Desa Chartain. Yang seorang mempersenjatai diri dengan parang dan garpu jerami, sedang yang satunya lagi bersenjatakan sabit.
Meski mereka adalah orang-orang yang terlatih, tetap saja mereka tidak dapat menyembunyikan kengerian akan pemandangan yang terbentang di depan mata mereka. Sinar lentera mereka menerangi dinding kayu pondok, menampakkan bekas-bekas cakaran dan cipratan darah. Meja kayu patah menjadi dua, sofa sudah tidak berwujud lagi. Serpihan kaca berserakan di lantai, berderak-derak pecah terinjak sepatu bot mereka.
Kekacauan paling parah terjadi di kamar tidur. Kasur hancur tercabik-cabik. Dipannya penuh goresan, kombinasi cakaran binatang buas dan kapak salah sasaran. Ceceran darah membentuk jejak di lantai, menuntun pandangan mereka beralih ke sesosok makhluk berbulu kelabu yang tergeletak tidak bernyawa di tengah bangunan tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scarlet: the Wolf Hunter [Terbit]
Paranormal[Pemenang Wattys 2022 kategori Paranormal] [Reading List WIA Indonesia Periode 5] Content warning: violence (15+) Kematian sang nenek di tangan seekor werewolf membuat Scarlet Dixon memutuskan untuk menempuh jalan hidup sebagai seorang pemburu werew...