Pondok kecil itu berdiri kesepian di tengah rimbunnya hutan, bagaikan rumah penyihir dalam dongeng pengantar tidur. Sulur-sulur ivy merambat sampai ke atap. Burung dan capung beterbangan mengitarinya. Bunga-bunga liar membingkai jendela dan kusen pintu. Karat melapisi teralis-teralis jendela. Genting atapnya sudah banyak yang hilang dan pecah. Sisanya hijau tertutup lumut. Serangga-serangga kecil berlompatan saat kaki-kaki Scarlet, Sean, dan Sawyer melangkah membelah rerumputan.
“Aku ingat tempat ini.” Sean berkacak pinggang, memperhatikan burung-burung yang bertengger di atap. “Sawyer, kau ingat tidak? Waktu kita masih kecil, kita sering belajar bersama di sini. Biasanya, kau dan Scarlet akhirnya menyalin pekerjaan rumahku.”
“Yep! Setelah itu, kita bertiga makan bersama, kan? Masakan Nenek Scarlet enak sekali! Sampai sekarang, belum pernah aku merasakan ayam pangang seenak itu.” Sawyer berlari-lari kecil menyusul Scarlet yang sudah mencapai pintu depan.
“Ya, masakan Nenek memang yang terenak,” sahut Scarlet lembut. Tangannya bergerak mendorong pintu depan, yang bergantung miring pada engselnya yang tersisa. Tidak ada yang pernah memasuki rumah itu semenjak insiden enam tahun lalu. Bahkan, tidak juga Scarlet dan ibunya. Memang peristiwa itu sudah lama berlalu. Namun, teror yang ditinggalkannya membekas, terpatri pada bercak-bercak berwarna karat yang tersisa di lantai dan dindingnya.
Gelombang nostalgia membanjiri benak Scarlet begitu ia menginjakkan kaki ke dalam. Kini rumah itu sunyi, sedih, dan dingin, tetapi jejak-jejak kehangatan masih tersisa di dalamnya. Taplak rajutan di atas meja. Sofa berlapis kain bunga-bunga. Patung-patung mungil di rak atas perapian. Kalau Scarlet mengabaikan segala debu, jamur, serangga, dan noda, ia dapat melihat kalau pondok itu sama persis seperti ketika terakhir kali ia melihatnya, enam tahun lalu.
“Oi, Scarlet! Kau baik-baik saja?” Tepukan Sawyer di punggung Scarlet menyadarkan gadis itu dari lamunan. Gadis itu berbalik, lalu tersenyum.
“Ya, tenang saja. Cuma mengingat masa kecilku. Bagaimanapun, aku punya lebih banyak kenangan indah daripada kenangan pahit di sini, kau tahu,” sahutnya. Ia tak dapat memungkiri bahwa keberadaan jejak-jejak sisa pertarungan yang tersebar di seantero rumah sedikit banyak mengingatkannya pada malam itu.
Anehnya, ia merasa tenang. Di tengah hangatnya sinar mentari, gadis itu seakan kembali ke masa yang silam, ketika ia masih seorang gadis kecil. Masa ketika ia bermain dengan boneka-boneka kecil neneknya. Masa ketika ia bersembunyi di balik selimut wol neneknya di tengah amukan badai petir. Masa ketika kunjungan ke rumah Nenek jadi hari yang dinanti-nantikannya.
Neneknya mencintainya, ia tahu itu. Makhluk yang berusaha membunuhnya enam tahun lalu bukanlah neneknya. Itu adalah monster yang hidup dalam darah neneknya, dan yang sekarang juga hidup di dalam Scarlet. Oleh karena itu, ia harus mencapai apa yang gagal dilakukan neenknya. Ia harus menjinakkan sisi werewolf dirinya, sekarang dan selamanya.
“Jadi, di mana nenekmu menyimpan rahasianya?” Sean mulai membuka satu-persatu laci di ruang tengah. Tidak ada yang penting. Hanya alat tulis, majalah-majalah lama, dan tentu saja sepasukan ngengat yang langsung terbang menyerbu mukanya begitu laci dibuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scarlet: the Wolf Hunter [Terbit]
Paranormal[Pemenang Wattys 2022 kategori Paranormal] [Reading List WIA Indonesia Periode 5] Content warning: violence (15+) Kematian sang nenek di tangan seekor werewolf membuat Scarlet Dixon memutuskan untuk menempuh jalan hidup sebagai seorang pemburu werew...