Surat itu selesai sampai di situ. Betapa pun Scarlet membongkar lemari tersebut, betapa pun diperiksanya saku dan lipatan tiap pakaian, tidak ada surat yang lebih baru. Putus asa, gadis itu terduduk di lantai, bersandar pasrah pada dinding. Surat yang baru ia baca tergeletak di atas pangkuan.
“Scarlet! Tidak adakah surat lain setelahnya?” seru Sawyer. “Ayahmu ... dia seharusnya sudah meninggal waktu umurmu empat tahun, kan?”
“Tidak, tidak ada.” Scarlet menggeleng lemah. “Berita kematian Nenek cepat menyebar. Mungkin Papa telah mendengarnya, dan berhenti mengirimkan surat. Mungkin Papa sudah dibunuh oleh para tentara. Atau, mungkin pengejar-pengejarnya berhasil menangkapnya.”
“Aku tidak yakin pada kemungkinan ketiga,” sahut Sean serius. “Sampai saat ini, belum ada konflik besar antara manusia dan werewolf, kan? Maksudku, sampai pada skala yang mengancam ketenangan kerajaan. Aku ragu mereka akan menunggu selama itu jika telah mendapatkan informasi yang mereka cari.”
“Whiteford. Whiteford. Aku belum pernah mendengar nama itu.” Scarlet bergumam. Akhirnya, ia masukkan amplop itu, beserta beberapa surat ayahnya yang lain, ke dalam saku celana. Gadis itu mengembalikan sisanya, lalu berdiri.
“Mungkin Dokter Fischer tahu sesuatu,” ujarnya. Di luar dugaan kedua sahabatnya, tiba-tiba Scarlet berlari meninggalkan pondok. Tidak ia hiraukan seruan Sean dan Sawyer sementara kedua orang itu berusaha menyusulnya. Bahkan ia tak ingat lagi tujuan awal investigasi mereka. Hanya satu keinginannya, untuk bersua kembali dengan ayahnya.
***
Sal sedang menyiram tanaman di halaman depan klinik ketika Scarlet datang berlari-lari. Sambil terengah-engah gadis itu berpegangan pada pagar kayu klinik. Rambutnya menempel lemas pada dahi dan leher yang berhias keringat. Meski demikian, matanya berkilat-kilat penuh semangat.
“Dokter Fischer, aku perlu bicara padamu secara privat,” ujarnya sembari mengatur napas. “Cepat, masuklah ke rumah!”
“Baiklah, baiklah.” Tergopoh-gopoh Sal mengembalikan gembor kalengnya ke gudang taman, lalu bergegas membukakan pintu. Gadis itu menyerbu masuk, membanting pintu sampai tertutup, lalu menarik lengan baju pria itu sembari berjalan ke perpustakaan kecilnya.
“Hei, Scarlet! Tenanglah! Ada apa sebenarnya?” seru Sal saat Scarlet tahu-tahu menutup pintu perpustakaan. Terus terang, sorot mata gadis itu mulai membuatnya takut. Ada harapan besar di sana, bercampur luapan emosi yang sulit Sal jelaskan. Terlebih, postur gadis itu lebih tinggi darinya. Tanpa melepaskan kontak mata, dokter itu mundur selangkah.
“Tenang? Bagaimana aku bisa tenang kalau‒!” Scarlet tidak melanjutkan kalimatnya. Sadar akan kelakuannya, ia menghela napas panjang. Matanya terpejam, bahunya naik turun. Tangannya terangkat, mengelap keringat di dahi.
“Maafkan ketidaksopananku, Dokter Fischer,” ujarnya lirih. “Ada sesuatu yang perlu kutanyakan. Apakah kau pernah mengetahui tentang seseorang bernama Whiteford?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Scarlet: the Wolf Hunter [Terbit]
Paranormal[Pemenang Wattys 2022 kategori Paranormal] [Reading List WIA Indonesia Periode 5] Content warning: violence (15+) Kematian sang nenek di tangan seekor werewolf membuat Scarlet Dixon memutuskan untuk menempuh jalan hidup sebagai seorang pemburu werew...