12. Kunjungan

363 76 5
                                    

Sinar matahari lembut menembus tirai putih kamar di loteng klinik Desa Chartain, lalu jatuh menerangi figur seorang gadis muda yang sedang duduk membaca di atas sebuah sofa tunggal berlapis beludru merah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sinar matahari lembut menembus tirai putih kamar di loteng klinik Desa Chartain, lalu jatuh menerangi figur seorang gadis muda yang sedang duduk membaca di atas sebuah sofa tunggal berlapis beludru merah. Sesekali ia mengangkat kepala, lalu menyibakkan tirai itu hingga menampakkan pemandangan di baliknya. Pagi itu, jalan utama Desa Chartain terlihat sama seperti biasanya. Orang dan kuda lalu-lalang, para pedagang berseru-seru di depan toko, para ibu membeli barang kebutuhan, serta anak-anak bermain-main.

Hanya satu hal yang berubah, yaitu jati dirinya.

Scarlet termenung. Kemarin malam, sudah ia dengar hasil keputusan rapat warga. Sejujurnya, ia tak keberatan seandainya mereka mengusirnya. Gadis itu yakin, andaikata ia adalah manusia biasa, dan orang lain dari kelompok pemburu yang ternyata adalah makhluk setengah werewolf, ia pasti akan ada di garda depan untuk mengusirnya. Ah, betapa Takdir memang sosok yang ironis! Sekarang, bagaimana ia harus menghadapi teman-temannya?

Agaknya semesta mendengar seruan hati Scarlet, dan memutuskan mengerjainya sekali lagi. Baru saja gadis itu kembali membuka buku, terdengar ketukan di pintu kamar. Gadis itu meletakkan bukunya, lalu bangkit dan pergi ke pintu.

“Scarlet, kau masih bangun? Seneca ingin bertemu denganmu.” Suara Sal terdengar dari balik pintu. Oh, hebat, keluh Scarlet dalam hati. Dari daftar orang-orang yang paling tidak ingin ia temui sekarang, pria itu bertengger di posisi teratas. Mengherankan memang, karena Seneca juga menempati posisi tertinggi pada daftar orang-orang yang dirindukannya. Masalahnya, setelah mendengar kesulitan yang dihadapi Seneca dalam pertemuan warga, Scarlet jadi merasa bersalah. Ia tak tahu harus berkata apa pada lelaki itu.

“Tunggu sebentar, aku akan merapikan diri,” ujar Scarlet pada akhirnya. Disisirnya rambutnya secepat yang ia bisa lakukan dengan satu tangan, lalu dirapikannya pakaiannya. Setelah puas dengan penampilannya, barulah ia buka pintu dari kayu pinus itu.

“Hei,” sapa Seneca canggung. Ia berdiri bersandar di dinding, kedua tangan dalam saku celana. Dengan gerakan kepala ia memberi isyarat pada Sal, yang langsung menyingkir seperti kucing yang diusir.

“Um, aku akan mengurus persediaan obat-obatanku di bawah.” Sal buru-buru menyelinap turun. Setelah pria itu hilang dari pandangan, Seneca berbalik menatap Scarlet.

“Jadi, boleh aku masuk?” Ia mengedikkan kepala. Tanpa suara Scarlet mengangguk, lalu menyingkir dari depan pintu. Ia biarkan Seneca masuk, lalu ditutupnya pintu kamar.

***

Seneca mulai melihat-lihat. Nyata benar kalau Sal telah mempersiapkan kamar itu sebaik dan senyaman mungkin. Lebih mirip kamar tamu daripada ruang perawatan, malah. Selain tempat tidur, meja berlaci, dan sofa tunggal, ada pula lemari baju dan sebuah rak buku berisi koleksi novel. Masih tak mengucapkan sepatah kata pun, Scarlet berjalan mendahuluinya dan memimpinnya ke arah sofa.

“Jadi, apa kau baik-baik saja?” Seneca duduk di sofa beludru itu.

“Sudah jauh lebih baik,” sahut Scarlet lesu. Hati-hati gadis itu duduk di tepian kasur, tangannya terlipat di atas paha. Kepalanya tertunduk, enggan menatap lawan bicaranya.

Scarlet: the Wolf Hunter [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang