Cahaya bulan remang-remang menyertai langkah Scarlet menyusuri ladang jagung. Sepanjang jalan, gadis itu terus memanggil-manggil nama Jane. Hasilnya, masih tidak ada jawaban. Untung bagi Scarlet, karena tidak ada kerumunan manusia di ladang itu, para werewolf pun enggan berkeliaran di sana. Hanya suara jangkrik, tonggeret, dan kelelawar menemani gadis itu.
Sekali angin kepak sayap senyap burung hantu berdesir di atas kepalanya dan membuat gadis itu terlompat kaget. Tentu berada di desa asing pada tengah malam, dalam posisi sangat terbuka untuk diserang, membuat kewaspadaan Scarlet meningkat, sekalipun ia sudah terbiasa berkeliaran di luar rumah pasca matahari terbenam.
Bila ia menengadah, Scarlet bisa melihat lentera Drew berkelap-kelip ketika remaja itu keluar masuk rumah-rumah warga di sekitar area pencarian. Sengaja Scarlet pergi tanpa membawa lentera. Selain agar tidak menarik perhatian, siapa yang menjamin bahwa tidak akan terjadi kebakaran apabila lentera itu tidak sengaja terjatuh? Hal terakhir yang Scarlet inginkan malam itu adalah bencana tambahan, terutama yang disebabkan olehnya. Untungnya, malam itu cerah, cukup cerah hingga Scarlet masih dapat melihat jelas keadaan sekitarnya.“Kira-kira ke mana anak itu, ya?” gumam Scarlet sembari menerobos deretan tanaman jagung setinggi lehernya. Daun-daun jagung mulai membuat mukanya gatal. Aku tidak bisa begini terus, pikir Scarlet. Jika ia ngotot mengelilingi seluruh ladang itu, bisa-bisa ia takkan selesai sampai pagi. Maka, gadis itu berhenti bejalan dan mulai mengamati keadaan sekelilingnya. Tanaman-tanaman jagung tampak baik-baik saja. Tidak ada daun yang patah atau sobek. Tanah di hadapannya pun bersih tanpa jejak kaki. Gadis itu menggeleng, lalu berbalik. Kelihatannya mustahil ada orang yang berlari menembus ladang baru-baru ini.
Gagal mencari di ladang, Scarlet memutuskan untuk kembali naik ke pinggiran. Waktu gadis itu berpaling, tampaklah sebuah lumbung tua di tengah ladang. Jaraknya kira-kira hanya dua ratus meter dari rumah tempat timnya menemukan si bocah lelaki. Atapnya sudah hilang separuh. Dilihat dari rupanya, bangunan itu sudah separuh runtuh lama sebelum malam ini. Meski dindingnya dari bata, hajaran waktu telah menciptakan lubang-lubang di sana-sini. Lumut dan tanaman liar tumbuh merambati dinding yang lembap.
Scarlet mendekat dan memeriksanya. Bangunan itu tidak terkunci. Sepasang pintu kayunya masih utuh dan kokoh. Pintu sebelah kiri terbuka sedikit, sesekali berayun ditiup sepoi angin malam. Scarlet memperhatikan tanah di depannya. Di antara jejak-jejak sepatu para petani yang setiap hari berlalu-lalang, terlihat jejak-jejak baru dari kaki berukuran kecil yang mengarah ke dalam. Scarlet tahu, itu berarti Jane pernah ke sini, dan mungkin masih ada di dalam. Tanpa suara, tangan gadis itu terulur mendorong pintu lumbung terbuka, perlahan-lahan supaya engselnya tidak berderit.
“Halo?” panggil Scarlet. Pelan-pelan ia melangkah masuk. Bagian dalam bangunan itu lapang. Di luar dugaan Scarlet, lumbung itu masih difungsikan. Beberapa ikat jerami tertumpuk rapi di bagian yang masih beratap. Sebagian lagi berserakan di lantai lumbung, bergemerisik terinjak sepatu bot Scarlet. Angin dingin berembus dari lubang-lubang di atap dan dinding.
Gadis itu berhenti melangkah, lalu mendengarkan dengan seksama. Dari balik tumpukan jerami, terdengar suara napas yang halus. Scarlet tidak tahu apakah asalnya dari manusia atau werewolf. Dengan menggenggam kapak dalam posisi siaga, gadis itu pelan-pelan mendekati tumpukan jerami. Bisa ia dengar isakan-isakan halus ketika ia makin mendekat. Baiklah, itu manusia, batin Scarlet sedikit lega. Hati-hati ia kitari tumpukan jerami itu, berusaha keras supaya tidak mengejutkan siapa pun yang menantinya di sana.
Di balik tumpukan itu, seorang gadis kecil balik menatap Scarlet. Matanya bundar dan hitam bagai manik-manik. Rambutnya dikuncir dua dengan pita merah, tingginya kira-kira sepinggang Scarlet, pipinya bundar seperti kue bolu. Tidak salah lagi, inilah Jane. Hanya, pipi itu tidak lagi bersemu merah. Anak itu berdiri mematung, pucat pasi bagaikan mayat. Kakinya telanjang dan penuh noda-noda tanah. Tubuhnya hanya dibalut gaun tidur berwarna kuning, jelas terlalu tipis untuk dikenakan di luar rumah pada malam sedingin ini. Ia tidak bergerak barang selangkah pun meski Scarlet tersenyum dan melambaikan tangan.
“Ada apa? Ayo, jangan takut. Aku datang untuk menyelamatkanmu,” panggil Scarlet. Gadis itu membungkuk dan menurunkan kapaknya. Ia sangka anak itu takut melihat penampilannya. Namun, Jane tetap mematung. Tubuhnya gemetar dialiri keringat dingin. Matanya terbelalak tak berkedip. Air mata mengaliri pipinya. Waktu Scarlet melangkah maju, anak itu menggeleng pelan.
“A .... Ah!” Hanya itu yang sempat Jane ucapkan sebelum sebuah bayangan di kegelapan merenggutnya ke belakang. Jeritan gadis kecil itu menggema ke seluruh bangunan, lalu berakhir jadi suara tercekik yang mengerikan.
“Jane!” Refleks, Scarlet mengangkat kapak dan berlari ke arah hilangnya Jane. Namun, gadis kecil itu sudah lenyap tanpa jejak. Suasana senyap, bahkan suara hewan-hewan malam lenyap dari udara. Seketika, jantung Scarlet berpacu. Ekor matanya menangkap kelebatan bayangan hitam berlarian tanpa suara. Walau gadis itu berputar-putar, posisi pasti si werewolf tetap tak dapat ia ketahui. Lama-kelamaan, Scarlet mulai kesal. Tangannya sudah tidak sabar ingin menebas werewolf itu. Kurang ajar betul monster terkutuk itu mempermainkan seorang manusia!
“Keluarlah, makhluk pengecut!” Scarlet berseru selantang yang ia bisa. “Keluar dan bertarunglah dengan benar kalau kau memang berani!”
Mendadak, Scarlet dikagetkan oleh pintu lumbung yang menjeblak tertutup. Tanpa ia sadari, makhluk itu telah menyusup melewatinya, lalu mengurungnya di tempat itu. Seketika, mata Scarlet melebar. Ia hampir tak bisa mempercayai apa yang barusan terjadi.Mengapa? batinnya. Mengapa aku tidak mendengar makhluk itu? Gadis itu mengeratkan genggaman pada gagang kapak, hingga buku-buku jarinya memutih. Lututnya mulai gemetar. Kilasan peristiwa enam tahun silam, kala ia terjebak bersama werewolf di rumah neneknya, bermunculan dalam benak tanpa bisa dibendung lagi.
Tidak, aku tidak boleh takut. Scarlet menggelengkan kepala kuat-kuat. Demi keselamatan semua orang, aku harus menghentikan werewolf itu.
Maka, gadis itu mengumpulkan kepercayaan diri, lalu menatap entitas hitam besar di hadapannya penuh tantangan. Diiringi geraman dalam, perlahan sosok itu merayap keluar dari kegelapan. Jika seseorang yang belum pernah melihat serigala disuruh menggambarkan seekor serigala hitam, pasti makhluk itulah jawabannya. Secara kasar, anatominya serupa serigala. Ada kepala, badan, empat kaki, ekor, serta sepasang telinga lancip. Bulu lebat nan kasar melapisi sekujur badan. Namun, tubuhnya terlalu panjang dan kurus. Kuku-kukunya terlalu lancip. Moncongnya terlalu lebar, matanya terlalu besar. Ia menyeringai, menampakkan sederetan gigi runcing berlumur darah. Aroma amis menguar seiring tiap embusan napasnya.
Tanpa sadar, Scarlet mundur selangkah. Di baik sarung tangannya, tangan gadis itu bassah oleh keringat dingin. Otaknya berusaha merancang skenario untuk kabur dan memanggil bantuan, tetapi hatinya yakin usaha itu sia-sia belaka. Ia tahu bahwa ia telah membuat kesalahan besar. Karena, hanya ada satu kata yang dapat mendeskripsikan makhluk di hadapannya.
Anomali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scarlet: the Wolf Hunter [Terbit]
Paranormal[Pemenang Wattys 2022 kategori Paranormal] [Reading List WIA Indonesia Periode 5] Content warning: violence (15+) Kematian sang nenek di tangan seekor werewolf membuat Scarlet Dixon memutuskan untuk menempuh jalan hidup sebagai seorang pemburu werew...