Gadis muda itu berdiri sendirian di tengah padang bunga daisy putih. Angin sepoi-sepoi membuai ujung pakaiannya, sehelai gaun musim panas berenda yang tipis dan ringan. Warnanya putih, seputih bunga-bunga kecil di sekitar kakinya. Dengan mata birunya gadis itu memandang jauh. Sepanjang mata memandang, hanya rumpun daisy belaka yang membentang hingga pegunungan di kejauhan.
Beberapa puluh meter di hadapan Scarlet, sebuah pondok berdinding batu berdiri. Jemuran melambai-lambai di halamannya, asap keluar dari cerobongnya. Hati gadis itu menghangat. Dulu sekali, ketika ayahnya masih ada di dunia, pondok itu pernah menjadi rumahnya. Hanya, ia tak mengenali sekelilingnya. Ia pun tak ingat bagaimana ia sampai ke sana. Bila memorinya benar, pondok pertanian itu harusnya sudah terjual tak lama setelah ia dan ibunya pindah ke rumah kecil di pusat desa.
Di mana aku? batinnya.
Scarlet Dixon memejamkan mata, mencoba memutar ulang memorinya. Potongan-potongan adegan bermunculan, samar bagai mimpi yang sirna begitu insan terjaga. Sampai di titik ketika harum ganjil itu tercium, ingatan itu berhenti. Segalanya gelap, hingga ia tiba-tiba berada di padang bunga itu.
Apakah ini rasanya mati?
Tentu saja Scarlet tidak punya jawaban. Maka, tanpa suara, Scarlet melangkah mendatangi pondok itu. Sayup-sayup, suara cekikik garis kecil terdengar, ditingkahi tawa berat seorang pria.
“Lebih tinggi lagi, Pa! Lebih tinggi!”
Hati-hati Scarlet mengintip ke dalam. Interior rumah itu masih persis seperti yang ia ingat. Di ruang tengah, seorang pria dan seorang gadis kecil bercengkerama. Pria itu mengangkat si gadis kecil, menggendongnya berputar-putar. Seperti burung anak itu merentangkan tangan. Tiada hiasan cantik atau makanan mewah di rumah itu. Namun, tawa dan cinta para penghuninya penuh melimpah, memenuhi rumah itu dengan kehangatan.“Scarlet, biarkan papamu istirahat! Ia pasti masih capek setelah seharian di ladang.” Sebuah suara lain terdengar. Amelia Dixon keluar dari dapur. Di tangannya ada pai daging cincang, makanan spesial kesukaan Scarlet.
Seketika, air mata Scarlet meremang. Betapa muda dan bahagianya ibunya dulu! Kini, bisa ia lihat mengapa ibunya selalu bilang bahwa ia mirip ayahnya. Rambut lurus berwarna cokelat, hidung mancung, dan mata laksana samudera yang tenang. Semua itu telah diwariskan padanya. Gadis kecil yang tertawa itu dirinya, lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Ah, Scarlet tak pernah menyadari betapa rindu dirinya pada masa-masa itu. Benar kata orang, ketidaktahuan sering kali bersinonim dengan kedamaian.
Sekonyong-konyong, ayahnya mendudukkan Scarlet kecil di kursi, lalu berjalan keluar. Gadis itu kelabakan. Tidak ada tempat sembunyi di sana. Selangkah, dua langkah, perlahan gadis itu mundur kembali ke padang daisy. Rindu, bingung, sedih, dan marah jadi satu dalam benak. Betapa pun separuh dirinya ingin memaki-maki sosok yang bertanggung jawab atas nasib kacaunya, separuh yang lain mengharap untuk memeluk pria itu, yang selalu memberinya kasih sayang apa adanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scarlet: the Wolf Hunter [Terbit]
Paranormal[Pemenang Wattys 2022 kategori Paranormal] [Reading List WIA Indonesia Periode 5] Content warning: violence (15+) Kematian sang nenek di tangan seekor werewolf membuat Scarlet Dixon memutuskan untuk menempuh jalan hidup sebagai seorang pemburu werew...