Ada nuansa melankolis tersendiri dalam pemandangan desa yang telah hancur. Betapa pun ia berusaha, Scarlet tidak bisa mengenyahkan rasa itu dari benaknya. Boneka yang tertelungkup di halaman depan, piring dan gelas yang ditinggalkan setengah terisi di meja makan, hiasan dinding yang terbakar setengah, serpihan-serpihan kertas surat. Siang tadi, rumah-rumah itu dipenuhi kehidupan. Sekarang, tidak ada yang tersisa. Kini, setiap kali ia melangkah memeriksa suatu rumah dan tidak menemukan mayat, Scarlet hanya bisa berdoa semoga penghuninya sempat menyelamatkan diri.
“Kamar tidur aman!” Scarlet melangkah menghampiri teman-temannya di ruang keluarga sebuah rumah. Sudah sepuluh rumah yang mereka periksa. Sekali mereka bertemu werewolf terluka, tetapi si werewolf abnormal belum kelihatan batang hidungnya.
“Semua lengkap? Baik, kita lanjutkan ke rumah berikutnya,” ujar Jess datar. Sejurus kemudian, ia melambaikan tangan, mencegah para rekannya pergi.
“Ada apa?” sahut Seneca kesal.
“Tunggu dulu. Aku mulai merasa ini tidak efektif. Jumlah kita terlalu banyak. Tentu makhluk itu sudah berpindah tempat begitu mendengar langkah kaki kita.” Jess menyilangkan lengan di depan dada.
“Sialan, pada akhirnya kita terperangkap dalam permainannya, eh? Bila kita berpencar, ia akan menampakkan diri dan berusaha membunuh kita. Bila kita tetap bersama, ia akan mencari celah untuk kabur, dan akan menyerang lagi di lain hari. Yah, apa pilihanmu?” Seneca mengangkat bahu. “Kalau kau bertanya padaku, kurasa tidak ada salahnya berpencar dalam grup-grup kecil. Kemampuan anak-anak ini sudah lumayan.” Jari telunjuknya bergerak menandai beberapa orang dari kumpulan anak buahnya. Paling akhir, jari itu terarah pada Scarlet.
“Nah, bagi yang kena tunjuk, bawa dua anggota lain dan pergilah berpencar.” Seneca bahkan tidak memberikan kesempatan bagi Scarlet untuk bertanya-tanya. Setelah sadar dari kagetnya, cepat-cepat gadis itu melirik kedua sahabatnya, yang sayangnya telah menemukan kelompok mereka masing-masing. Sean hanya memberinya senyum dan acungan jempol, sementara Sawyer berujar lebih frontal.
“Semoga beruntung!” Pemuda itu menyeringai jenaka, lalu pergi dengan kelompoknya memasuki sisa-sisa toko kelontong.
“Sialan kalian semua.” Scarlet hanya bisa menyahut, separuh kesal dan separuh geli. Tentu saja ia tidak bisa marah pada sahabat-sahabatnya sendiri. Lagipula, ia tahu Seneca tidak akan membiarkannya mengambil kedua pemuda itu dalam timnya. Secara kemampuan, mereka bertiga terlalu setara. Kalau alasan mengapa hanya Scarlet yang ditunjuk jadi ketua tim, gadis itu tidak tahu. Seperti sebagian besar pemburu lainnya, ia seringkali tidak bisa menebak jalan pikiran lelaki itu.
Scarlet melihat berkeliling. Ah, Drew masih mencari-cari kelompok. Kalau Drew bisa mengatasi sifat gampang paniknya, Scarlet tahu anak itu sebenarnya cukup gesit. Ia panggil satu orang anggota junior lagi, seorang remaja tinggi berkulit gelap bernama David West. Scarlet mengenalnya sebagai seorang anak yang diselamatkan warga desa beberapa tahun lampau dari sebuah kereta kuda beratap terpal setelah para werewolf merenggut nyawa orang tua dan adik-adiknya. Dalam beberapa hal, Scarlet merasa nasib mereka berdua agak mirip, dan itulah sebabnya ia ingat betul nama remaja itu. Bersama-sama, ketiga pemburu itu memulai misi mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scarlet: the Wolf Hunter [Terbit]
Paranormal[Pemenang Wattys 2022 kategori Paranormal] [Reading List WIA Indonesia Periode 5] Content warning: violence (15+) Kematian sang nenek di tangan seekor werewolf membuat Scarlet Dixon memutuskan untuk menempuh jalan hidup sebagai seorang pemburu werew...