Cahaya lampu minyak menerangi seorang wanita paruh baya dan anak gadisnya yang sedang menyantap makan malam di kediaman mereka. Selain mereka, tidak ada yang lain di rumah keluarga Dixon. Selama bertahun-tahun, ibu dan anak itu menjalani hidup berdua saja, saling mendukung melewati hari-hari. Pada malam ini pun kesunyian melingkupi selagi mereka makan dalam diam. Hanya bunyi jarum jam yang samar-samar menghiasi rumah sederhana itu.
Scarlet mengiris fillet ayam panggang di piringnya. Mata birunya menerawang. Terbayang kembali kata-kata yang Sal ucapkan setelah mereka keluar dari rubanah.
“Ada satu hal yang kami temukan mengenai fenomena yang menimpamu. Kemampuan werewolf adalah keturunan. Seharusnya perkawinan antara werewolf dan manusia biasa tidak dapat menghasilkan keturunan yang hidup hingga dewasa, tetapi terkadang ada perkecualian. Maaf aku harus mengatakan ini, tetapi aku yakin setidaknya salah satu orang tuamu memiliki darah werewolf.”
Perlahan, Scarlet menatap ibunya, Amelia Dixon. Dipandanginya wajah lembut nan tenang yang telah menemani hari-harinya selama ia bertumbuh dewasa. Dipandanginya tangan-tangan yang telah bertahun-tahun bekerja keras menjahit pakaian demi membesarkannya seorang diri. Ibunya begitu biasa dan bersahaja, seperti ibu-ibu lainnya di desa. Dilihat dari sisi mana pun, tak dapat ia membayangkan bahwa ibunya adalah seekor werewolf. Lalu, apakah dari ayahnya ia memperoleh kemampuan itu?
“Scarlet, kok tidak makan? Bahumu masih sakit, ya?” Suara lembut wanita itu membawa Scarlet kembali pada kenyataan.
“Tidak, Ma. Cuma sedikit capek.” Scarlet tersenyum. Ibunya balas tersenyum, lalu menyendokkan lebih banyak sayuran ke piring Scarlet.
“Ayo, makan yang banyak. Setelah itu, cepat tidur. Kelihatannya kau bertambah kurus. Kalau Dokter Fischer tidak memberimu makan dengan baik selama kau dirawat, beritahu Mama. Akan Mama marahi orang itu sampai ia tidak berani lagi menatap Mama!”
Scarlet tertawa kecil. Ia tahu kalimat terakhir ibunya cuma bercanda. Sepanjang ingatannya, tidak pernah gadis itu mendengar wanita itu meninggikan suara pada orang lain, termasuk pada Scarlet sendiri. Tidak ketika Scarlet kecil berkelahi dengan anak-anak lelaki dari desa sebelah. Tidak ketika Scarlet kecil ketahuan mencuri apel dari kebun tetangga. Setiap kali ia melakukan kesalahan, ibunya hanya menyuruhnya duduk dan merefleksikan tindakannya, hingga Scarlet sendiri sadar akan kesalahannya.
Hanya ada satu peraturan tak tertulis yang dipegang teguh pasangan ibu dan anak itu, yaitu untuk tidak pernah membicarakan memori paling menyakitkan bagi masing-masing dari mereka. Itu berarti, Scarlet tidak pernah membicarakan soal ayahnya. Sebagai gantinya, Amelia tidak pernah mengungkit-ungkit malam ketika Scarlet membunuh werewolf pertamanya.
Kapan peraturan itu mulai berjalan, Scarlet tidak ingat. Begitu juga dengan pemahaman bahwa ayahnya menghilang tanpa jejak. Scarlet memilih untuk mempercayai penjelasan ibu dan neneknya soal kepergian tiba-tiba tersebut, yaitu bahwa ayahnya telah meninggal saat ia masih terlalu kecil untuk mengerti arti kematian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scarlet: the Wolf Hunter [Terbit]
Paranormal[Pemenang Wattys 2022 kategori Paranormal] [Reading List WIA Indonesia Periode 5] Content warning: violence (15+) Kematian sang nenek di tangan seekor werewolf membuat Scarlet Dixon memutuskan untuk menempuh jalan hidup sebagai seorang pemburu werew...