Langit-langit kayu.
Itulah benda yang pertama kali dilihat oleh kedua mata biru Scarlet. Itu bukan langit-langit kamarnya. Langit-langit kamarnya datar, bukan segitiga seperti ruangan ini. Pun kasur bulu angsa berseprai biru muda yang ia tiduri bukan miliknya. Demikian pula halnya dengan gaun tidur berwarna putih yang dikenakannya. Sinar matahari menembus jendela bertirai putih di dinding sebelah kirinya, cahayanya lembut menerangi seluruh ruangan.Pelan-pelan Scarlet mencoba bangun. Seketika itu ia mengerang, lalu kembali menjatuhkan tubuh ke kasur. Memang bodoh yang ia lakukan, mencoba menumpukan badan pada siku kanan sedang bahunya masih terluka parah. Apa boleh buat, sudah kebiasaan. Sekonyong-konyong, ia mendengar langkah-langkah kaki menaiki tangga. Kembali ia membaringkan diri. Tak lama kemudian, pintu kamar pun terbuka, dan wajah seorang lelaki menyembul dari baliknya.
“Kau sudah bangun! Bagus!” Lelaki itu berjalan masuk. Scarlet mengenalinya. Dialah Sal Fischer, dokter di Desa Chartain. Usianya baru menginjak awal tiga puluh tahunan. Baru setahun lalu ia berpraktik di Desa Chartain, menggantikan dokter sebelumnya yang pensiun setelah berdinas selama hampir empat puluh tahun. Setahu Scarlet, jas lab lusuh hampir tak pernah absen membungkus tubuhnya yang tinggi dan kurus. Ditambah rambut cokelat keriting dan kaca mata bulat, penampilannya lebih mirip ilmuwan gila daripada dokter desa. Meski penampilannya cukup nyentrik, semangat dan keahliannya telah membuatnya disukai warga desa.
“Ibumu mengirimkan sup ayam kesukaanmu. Tadinya ia mau menjengukmu, tapi lebih baik kau kuberi waktu beristirahat sedikit lagi.” Sal meletakkan sebuah rantang pada meja kecil di samping ranjang Scarlet. Kemudian ia buka sebuah meja lipat yang ia ambil dari kolong ranjang, lalu ditatanya makanan itu di atasnya.
“Uh, Dokter Fischer, pukul berapa sekarang?” tanya Scarlet, matanya mencari-cari jam.
“Setengah sebelas. Tenang, masih pagi! Masih waktu yang tepat untuk sarapan.” Sal membantu Scarlet duduk di ranjang, lalu menyajikan sarapan di depannya. “Waktu kau tiba di sini, kau sudah kehilangan banyak darah. Jujur saja, itu operasi paling menegangkan yang pernah kulakukan pada pukul tiga pagi! Yah, paling tidak kau selamat, dan aku cukup bangga pada diriku sendiri karenanya.” Ia tertawa kecil.
Scarlet membalas dengan anggukan kecil. Sup ayam buatan ibunya terasa sangat lezat, meski ia harus makan perlahan-lahan dengan tangan kiri. Beberapa kali ia kesulitan menyendok, dan kuah jadi bertetesan di meja portabel itu. Ugh, rasanya seperti ia anak kecil saja!
“Kau tahu, begitu jahitan di bahumu sembuh, kau akan bisa menggunakan tangan kananmu seperti tidak pernah terjadi apa-apa.” Sal berusaha menghiburnya. “Kau beruntung makhluk itu tidak memutus sarafmu. Kalau itu yang terjadi, yah, hanya keajaiban yang bisa membuatmu mampu menggerakkan tangan kananmu lagi.”
Kembali, Scarlet hanya memberi anggukan kecil. Sekarang, setelah ia sadar sepenuhnya, gadis itu teringat pada suatu hal yang merisaukannya. Bila ia memikirkan hal itu matang-matang, kemarin malam, rasanya mustahil kawan-kawannya bisa jadi sangat ketakutan hanya karena melihat penampilannya yang kacau. Hati kecilnya yakin bahwa ada peristiwa luar biasa yang mereka saksikan. Beberapa suapan kemudian, ia memberanikan diri untuk berbicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scarlet: the Wolf Hunter [Terbit]
خارق للطبيعة[Pemenang Wattys 2022 kategori Paranormal] [Reading List WIA Indonesia Periode 5] Content warning: violence (15+) Kematian sang nenek di tangan seekor werewolf membuat Scarlet Dixon memutuskan untuk menempuh jalan hidup sebagai seorang pemburu werew...