Matahari sudah beranjak turun ketika Scarlet tiba di tepi hutan. Ia sendirian. Alam pun seolah tahu akan suasana mencekam yang meliputi hatinya. Burung-burung tak berkicau, hewan hutan tak terlihat, bahkan angin pun tak berembus. Semesta bagai menahan napas, sembari memperhatikan gadis itu melangkah tegap membelah rerumputan.
Kurang lebih lima belas meter dari rumah neneknya, gadis itu melirik jam sakunya. Lebih tepatnya, jam saku Seneca yang ia pinjam. Pukul empat kurang lima menit. Ia tidak terlambat. Sekarang ia hanya dapat berdoa, berharap keputusan yang ia ambil sudah tepat. Dengan kapak tergenggam erat, ia pun memasuki rumah.
Sinar mentari sore jatuh melalui jendela besar di ruang tengah pondok, menyinari sosok Sal yang terikat dalam posisi duduk di sebuah kursi kayu. Kepalanya terkulai ke bawah, tangan dan kakinya terjuntai tak bertenaga. Sisa-sisa darah kering menodai wajah dan kemejanya. Di belakangnya, sesosok insan berjubah hitam berdiri. Tubuhnya semampai, gerak-geriknya luwes tanpa suara. Bagai asap sosok itu mengitari Sal yang masih tak sadarkan diri, lalu berdiri lurus menatap Scarlet. Sudut-sudut bibirnya melengkung, menyunggingkan sebuah senyum licik.
“Kaukah itu, Whiteford?” tanya Scarlet. Kapak tetap siaga dalam genggamannya, posisinya siap menyerang. Matanya menyipit, memperhatikan sosok itu dari kepala hingga ujung kaki.
Tangan sosok itu bergerak menurunkan tudungnya. Jari-jarinya putih dan lentik dengan kuku-kuku yang terawat. Tampaklah wajah sesosok wanita berusia kira-kira akhir dua puluhan. Kulitnya seputih susu, rambutnya lurus dan halus membingkai wajah ovalnya. Baru kali itu Scarlet melihat rambut pirang berwarna sepucat itu. Matanya biru muda, bagai air di danau yang beku. Tanpa sadar, Scarlet terpana. Bila peri di buku cerita yang sering dibacanya waktu kecil dulu mewujud jadi nyata, pasti wanita inilah yang jadi rupanya. Hanya, Scarlet tahu persis bahwa sosok itu bukanlah peri. Sosok itu adalah lawannya, yang mungkin akan sekaligus jadi malaikat kematiannya malam ini.
“Kaget, Scarlet Dixon? Kurasa ini bukan kali pertama kau melihat wujud manusia seorang werewolf.” Wanita itu berujar sembari meletakkan tangan di bahu Sal. “Kau di sini untuk pria manis ini, eh? Ia sedikit terlalu tua untukmu, bukan?”
“Ia temanku! Apa yang kaulakukan padanya?” seru Scarlet. Gadis itu masih berdiri diam di tempatnya. Untuk saat ini, keadaan tampak stabil. Wanita itu tak membawa senjata. Sepanjang pengetahuan Scarlet, seekor werewolf tak bisa bertransformasi selama masih ada cahaya matahari. Meski demikian, ia tak ingin bertindak gegabah.
“Oh, jangan khawatir. Saat ini, ia hanya tertidur lelap. Kami bukanlah pembohong, Scarlet. Tentu, jalannya pertemuan ini akan menentukan apakah kepala pria manis ini masih menempel pada badannya di akhir pertemuan.” Tangan wanita itu membelai-belai rambut ikal Sal.
“Tidak usah bertele-tele,” sahut Scarlet dingin. “Cepat katakan apa maumu.”
“Kau memang terburu-buru, ya? Benar-benar kau ini anak Eustace Dixon.” Wanita itu terkikik. Ugh, betapa Scarlet ingin langsung menamparnya! Memang suara wanita itu merdu. Penampilannya pun rapi, seperti orang dari kota besar. Namun, Scarlet tak dapat menyingkirkan rasa geli dan jijik yang tanpa permisi merayapi bulu kuduknya. Perempuan jelita itu tak ubahnya fasad belaka, untuk menyembunyikan makhluk bengis di baliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scarlet: the Wolf Hunter [Terbit]
Paranormal[Pemenang Wattys 2022 kategori Paranormal] [Reading List WIA Indonesia Periode 5] Content warning: violence (15+) Kematian sang nenek di tangan seekor werewolf membuat Scarlet Dixon memutuskan untuk menempuh jalan hidup sebagai seorang pemburu werew...