Begitu pasien terakhir keluar, Scarlet, Sean, dan Sawyer bergegas mendatangi pintu klinik. Belum lagi mereka sampai, pintu sudah terbuka, menampakkan Sal yang siap untuk pergi. Tentu saja pria itu terheran-heran melihat ketiga muda-mudi itu berdiri berjajar seperti kayu pagar. Apalagi sambil cengar-cengir bagai bocah hendak minta uang!
“Kau kembali, Scarlet? Ada masalah apa? Ada barang yang ketinggalan?” tanyanya. “Aku, eh, ada panggilan darurat. Kalau kau butuh berdiskusi, tunggu sampai aku kembali.”
“Aku sudah memutuskan, Dokter Fischer,” sahut Scarlet mantap. “Sebelumnya, kuharap kau tidak keberatan aku membawa dua sahabatku ini. Aku mendiskusikan tawaranmu dengan mereka. Setelah memikirkannya baik-baik, aku setuju untuk berpartisipasi dalam penelitianmu.”
“Oh, um, ya, tentu saja!” sahut Sal. Setengah antusias, setengah enggan begitu melihat keberadaan dua tamu tak diundang. Yah, Scarlet sudah terlanjur bercerita. Mau tidak mau, lelaki itu harus menerima tambahan dua personel dadakan. Lagipula, karena mereka berdua adalah pemburu, dan kenal dekat dengan Scarlet, barangkali bantuan mereka akan berguna, pikirnya menghibur diri.
“Kalau begitu, aku akan mengurus persiapannya. Kalian tetap jalani rutinitas seperti biasa. Akan kukabari kalau sudah siap,” jawab Sal sambil mempersiapkan kudanya. “Yah, aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa!”
Sal segera menaiki kuda, lalu melesat menyusuri jalan utama. Scarlet mengangkat bahu. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu pria itu kembali. Gadis itu duduk di tangga teras rumah Sal. Sawyer menyusul di sampingnya. Cuma Sean yang masih setia melihat jalanan dengan dahi berkerut dan alis bertaut.
“Kalian tidak merasa ada yang aneh? Dokter Fischer tidak membawa tas dokternya.” Sal berbalik, lalu menggabungkan diri dengan kedua sahabatnya. “Ia tidak mungkin mendatangi panggilan darurat, itu pasti. Lagipula, jalan yang ia tempuh mengarah ke luar desa.”
“Barangkali mengunjungi rekannya sesama peneliti? Ia bolak-balik menggunakan kata ‘kami’ saat menjelaskan tujuan penelitiannya. Yah, memang orang itu benar-benar aneh.” Scarlet menggeleng pasrah. “Apa boleh buat, ia satu-satunya orang yang bisa kita mintai tolong.”***
Hari-hari Scarlet berlalu seperti biasa. Hampir seperti biasa, sebenarnya. Scarlet disibukkan dengan rutinitas baru, membantu ibunya mengerjakan pesanan jahitan pakaian. Selebihnya, ia lebih banyak tinggal di rumah. Kalau dahulu gadis-gadis seusianya tak terlalu akrab dengannya, kini mereka betul-betul menghindarinya. Sean, Sawyer, dan Seneca juga punya kesibukan mereka sendiri. Hanya sekali-sekali mereka bertemu, itu pun seringkali hanya bertegur sapa.
Saat malam tiba dan para pemburu beraktivitas, baru Scarlet sadari betapa ia sangat merindukan kehidupan lamanya. Betapa ia ingin bergabung dalam barisan bersama teman-teman setimnya di bawah sinar lentera. Betapa ia ingin kembali beraksi mengarungi kegelapan bersama kapak dan pisau kesayangannya.
Memang benar kata pepatah, bahwa manusia baru dapat menghargai apa yang ia miliki ketika hal itu tak lagi ada dalam genggaman. Sayang, ia bahkan tak berani mengintip kegiatan para pemburu. Begitu matahari terbenam, langsung ia menutup seluruh jendela rumah dan pergi berdiam di kamarnya, takut kalau-kalau sinar bulan mengenai dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scarlet: the Wolf Hunter [Terbit]
Paranormal[Pemenang Wattys 2022 kategori Paranormal] [Reading List WIA Indonesia Periode 5] Content warning: violence (15+) Kematian sang nenek di tangan seekor werewolf membuat Scarlet Dixon memutuskan untuk menempuh jalan hidup sebagai seorang pemburu werew...