Rumah Elizabeth Dixon, enam tahun lalu.
Langit sudah bersemu merah ketika Scarlet Dixon mengeluarkan sebongkah roti tawar dari oven batu milik neneknya. Gadis berusia dua belas tahun itu tersenyum melihat roti yang matang sempurna. Selagi masih hangat, segera ia oleskan mentega melapisi kulit roti hingga permukaan panganan itu berkilau dengan warna cokelat keemasan yang cantik. Harum roti semerbak memenuhi rumah kecil di tengah hutan itu.
“Nenek, roti untuk makan malam siap!” Sambil berlari-lari kecil, Scarlet melintasi ruang tengah. Saat itu, Elizabeth Dixon sedang membersihkan barang-barang pajangan di rak. Begitu melihat kegiatan neneknya, Scarlet langsung berkacak pinggang dan memasang wajah cemberut.
“Nek, bukannya aku sudah bilang supaya Nenek jangan kerja dulu? Nenek belum sembuh sepenuhnya, kan? Biar aku saja! Kalau Nenek sampai sakit lagi, Mama dan aku ikut bingung!” Gadis itu berseru dengan suara yang dibuat-buat kesal. Elizabeth hanya tertawa kecil. Wanita berusia akhir enam puluhan tahun itu meletakkan kain lapnya, lalu merangkul pundak cucunya.
“Tidak usah repot-repot, Scarlet. Nenekmu ini belum terlalu tua, tahu? Nenek cuma terserang flu beberapa hari lalu.” Elizabeth mengacak-ngacak rambut cokelat Scarlet. Untuk ukuran orang seusianya, Elizabeth memang termasuk awet muda. Badannya tegap, kulitnya masih terlihat kencang. Meski helai-helai uban mulai menghiasi rambut cokelat ikal pendeknya, wanita itu selalu menata rambutnya dengan rapi. Mata hijaunya teduh dan lembut, bagai dedaunan musim semi yang ditimpa sinar mentari.
“Yah, pokoknya jangan terlalu capek, Nek. Kalau Nenek butuh bantuan, biar aku yang kerjakan. Oh ya, tadi Mama masak sup ayam dan perkedel untuk Nenek. Makanannya ada di keranjang, di samping roti yang baru kubuat. Sekarang ...,” Scarlet mengamati langit yang makin menggelap, “kurasa aku terlambat pulang.”
Setelah berucap demikian, Scarlet menelan ludah. Ia tahu bahwa ia terlambat. Meski ia bisa meminta para penjaga untuk membukakan gerbang, ia takkan sempat sampai di gerbang sebelum hari gelap. Ah, seandainya ia tadi tidak bermain-main dulu di hutan sebelum pergi ke rumah Nenek, pasti ia bisa sampai dan menyelesaikan rotinya lebih cepat. Gadis itu kini hanya bisa memain-mainkan rambutnya dengan gugup, membayangkan bahwa besok ibunya pasti marah besar padanya.
“Sudah, menginaplah di sini saja! Bahaya kalau kamu pulang sendirian malam-malam. Besok, biar Nenek yang bicara dengan mamamu. Akan Nenek katakan kalau kau adalah anak baik yang sudah membantu Nenek seharian. Pasti mamamu maklum,” ujar Elizabeth, seolah dapat membaca pikiran cucunya. Wanita itu menutup dan mengunci pintu depan. Kemudian, ia bergerak mengunci jendela satu-persatu.
“Baik, Nek.” Scarlet mengangguk, lega. Cepat-cepat ia membantu neneknya menutup jendela. Ia ulurkan tangan mungilnya melewati teralis, lalu ia tarik daun jendela sekuat mungkin hingga tertutup rapat. Waktu masih kecil, Scarlet bingung mengapa seluruh jendela di rumah neneknya berjeruji seperti penjara. Berulang kali ia minta neneknya menyingkirkan teralis itu, tetapi neneknya hanya tersenyum. Baru setelah agak besar ia mengerti bahwa batang-batang besi perusak pemandangan itu ada untuk melindungi rumah sang nenek dari serangan werewolf. Karena rumah Elizabeth berada di luar perimeter desa, jauh dari perlindungan pagar desa dan pasukan pemburu, tempat itu harus jadi benteng teraman untuk para penghuninya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scarlet: the Wolf Hunter [Terbit]
Paranormal[Pemenang Wattys 2022 kategori Paranormal] [Reading List WIA Indonesia Periode 5] Content warning: violence (15+) Kematian sang nenek di tangan seekor werewolf membuat Scarlet Dixon memutuskan untuk menempuh jalan hidup sebagai seorang pemburu werew...