Desa Chartain, masa sekarang.
Matahari baru saja beranjak turun, tetapi gedung balai desa sudah dipenuhi orang. Di Desa Chartain, tidak ada rahasia yang bertahan lama. Entah siapa yang memulai, cerita tentang fenomena aneh di Desa Whittington sudah tersebar luas. Dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, Scarlet Dixon mendadak jadi buah bibir seantero warga. Kini, warga desa ramai-ramai berkumpul dan mengoceh. Baik yang benar-benar peduli maupun yang hanya ikut-ikutan, semua penasaran menanti tindakan para pengurus desa dalam menentukan nasib Scarlet.
Seneca membenci pertemuan terbuka semacam ini. Baginya, rapat desa hanyalah ajang unjuk gigi buat orang-orang yang tidak pernah benar-benar berkontribusi pada urusan desa. Lihat saja mereka sekarang! Sebagian besar di antaranya menganggap Scarlet sebagai makhluk berbahaya yang harus dimusnahkan. Warga desa seolah lupa bahwa Scarlet lahir dan besar di antara mereka. Beberapa malah sudah jadi ahli werewolf dadakan. Seandainya Seneca memperoleh satu dolar untuk setiap fakta werewolf keliru yang ia dengar dari mulut mereka, ia yakin pastilah ia sudah mendapatkan setidaknya lima puluh dolar! Bukan jumlah yang sedikit bila mengingat fakta bahwa ia baru berada di situ selama lima menit.
Sebenarnya, bukan Scarlet yang paling dikhawatirkannya sekarang, melainkan nasib skuad pemburu secara keseluruhan. Bagaimanapun juga, di mata orang awam, masuknya werewolf ke dalam skuad pemburu adalah keteledoran fatal. Ditambah lagi, ada selentingan tak berdasar yang menyatakan bahwa para pemburu sebenarnya sudah tahu sejak dulu, tetapi sengaja merahasiakan jati diri Scarlet. Sebagai komandan, Seneca tahu betul bahwa posisinya terancam. Apa pun yang akan dikatakan dewan pengurus padanya, kemungkinan besar bukanlah sesuatu yang baik.
“Semua ini terlalu berlebihan!” Sebuah suara familier terdengar di samping Seneca. Ketika ia menoleh, didapatinya Sawyer berjalan menghampirinya. Ah, syukurlah, seseorang yang berpikiran serupa, batinnya. Namun, segera dahi lelaki itu berkerut melihat penampilan anak buahnya itu. Kalau Seneca masih menunjukkan sedikit respek dalam penampilannya yang rapi, Sawyer seolah terang-terangan menyatakan bahwa ia tidak peduli. Pakaiannya cuma kemeja lusuh bekas seharian dipakai bekerja, ditambah celana selutut yang sudah robek di bagian paha kiri.
“Oi, kau mau hadir dengan penampilan seperti sapi habis berkubang begitu? Mandi dulu, sana! Setidaknya, gantilah bajumu!” tegur Seneca.
“Tidak sudi, Komandan!” sahut Sawyer. “Huh, sialan si Drew itu. Belum lagi sampai ke markas, dia sudah koar-koar macam ibu-ibu saja! Akibatnya satu desa jadi pada heboh, kan?”
Ah, jadi Drew biang keroknya, pikir Seneca. Seharusnya ia sudah menduganya. Agak menyesal ia menyuruh anak itu turut serta dalam operasi di Desa Whittington. Mentalnya masih terlalu kekanak-kanakan, meski kemampuan bertarungnya sudah cukup memadai. Walau hatinya memihak Scarlet, sebagai seorang komandan, Seneca harus adil memperlakukan anak buahnya. Maka, ia diam saja sembari menunggu Sawyer selesai meluapkan emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scarlet: the Wolf Hunter [Terbit]
Paranormal[Pemenang Wattys 2022 kategori Paranormal] [Reading List WIA Indonesia Periode 5] Content warning: violence (15+) Kematian sang nenek di tangan seekor werewolf membuat Scarlet Dixon memutuskan untuk menempuh jalan hidup sebagai seorang pemburu werew...