Malam tiba di Desa Chartain. Setelah pasien terakhir pulang, Sal mengunci pintu dan jendela klinik. Pria itu tersenyum puas. Hari itu, tidak ada kasus berat yang harus ia tangani. Hanya beberapa anak yang terserang flu, seorang pria tua yang sakit lutut, serta seorang wanita yang datang memeriksakan kandungan. Ditambah lagi, pembicaraannya dengan Scarlet mulai menunjukkan kemajuan.
Sembari bersenandung, Sal mulai menata rumah. Hal itu bukan pekerjaan sulit, bahkan sehabis hari-hari yang sibuk di klinik. Sebagai seorang bujangan yang tinggal sendirian, Sal tidak perlu khawatir akan adanya kotoran-kotoran dari aktivitas manusia lain di dalam rumahnya ketika ia sedang bekerja. Maka, malam itu ia memutuskan untuk membersihkan kotak tempat ia menyimpan stok obat, serta mengganti beberapa kain lap yang sudah kotor.
Saat ia baru saja selesai mengosongkan tempat sampah, terdengar ketukan di pintu depan. Mula-mula pelan, lalu makin lama makin kencang. Terdorong kewajiban sebagai dokter, Sal berlari-lari kecil ke pintu. Barangkali ada keadaan darurat, batinnya. Bukan hal aneh bila ada orang yang muncul di depan pintunya saat larut malam.
“Siapa?” tanya Sal. Lelaki itu mengintip melalui lubang bundar di pintu. Aneh, ia tak melihat seorang pun di beranda. Jalanan dan juga terlihat sunyi. Lelaki itu menggeleng. Mungkin aku salah dengar, batinnya. Sambil menguap, ia berjalan pergi, bermaksud hendak melanjutkan kegiatan.
“Tolong aku ....” Tiba-tiba terdengar suara bisikan lirih. Seketika, Sal berhenti melangkah. Ada yang ganjil dari suara itu. Selama tahun-tahun yang ia habiskan di Desa Chartain, belum pernah Sal mendengar suara yang begitu lembut, sekaligus begitu memilukan. Suara itu penuh keputusasaan, seolah keluar dari bibir seseorang yang sekarat.
“Ada apa?” sahut Sal ragu-ragu. Dalam situasi biasa, pria itu yakin dirinya pasti sudah berlari keluar sambil menenteng alat-alat pertolongan pertama, siap untuk melakukan tindakan darurat. Namun, sesuatu dalam hati kecilnya menahan Sal di tempatnya berdiri. Ia sendiri tak tahu apa sebabnya. Barangkali alam bawah sadar memang punya mekanisme sendiri untuk mendeteksi bahaya yang luput dari radar logika.
Tidak ada jawaban. Hanya suara napas yang samar-samar terdengar. Hati-hati, Sal menyibak tirai jendela klinik. Di sudut kanan bawah jendela, tampaklah sesosok manusia. Kepalanya menghadap ke samping, sehingga Sal tidak bisa melihat wajahnya. Sinar bulan menyinari rambut pirang keperakan yang menjuntai panjang sampai ke punggung. Sosok itu gemetar seiring tiap tarikan napasnya. Seketika, rasa takut dalam hati Sal lenyap berganti rasa iba. Bahkan, diam-diam ia menertawakan dirinya sendiri karena sempat merasa waswas.
“Tunggulah sebentar, aku akan keluar,” ucap Sal. Pria itu meraih kunci, lalu membuka pintu. Di samping pintu itu, seorang wanita muda bergaun putih duduk meringkuk. Kulitnya sepucat mayat, gaunnya kotor bernoda tanah. Waktu Sal meraih tangannya, lelaki itu terkejut. Astaga, betapa dingin tangannya! Cepat-cepat ia mengambil mantel dari belakang pintu, lalu menyelimutkannya ke bahu wanita itu.
“Kau bisa berdiri? Mari kubantu.” Sal melingkarkan lengan wanita itu ke bahunya. Agak kesulitan ia memapah wanita itu masuk karena tubuh wanita itu yang lemas, tetapi ia berhasil. Segera ia baringkan tamunya di ranjang klinik.
Sembari memeriksa, diam-diam Sal mengamati wanita asing itu. Sal belum pernah melihatnya di desa. Tubuhnya langsing, kulitnya putih dan halus. Dokter itu heran mendapati bekas-bekas luka lama di balik di balik pakaian wanita itu, tetapi ia tidak bertanya. Selain hal itu, ia tidak menemukan cedera apa pun. Dugaan Sal, wanita itu hanya kelelahan dan kedinginan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scarlet: the Wolf Hunter [Terbit]
Paranormal[Pemenang Wattys 2022 kategori Paranormal] [Reading List WIA Indonesia Periode 5] Content warning: violence (15+) Kematian sang nenek di tangan seekor werewolf membuat Scarlet Dixon memutuskan untuk menempuh jalan hidup sebagai seorang pemburu werew...