3| Dulu Papa Selalu Memeluk Kala

3.8K 409 80
                                    

Ada sakit yang kini mendera dada Kala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada sakit yang kini mendera dada Kala. Matanya tak melepas pandangan di depan sana. Sebuah gambaran keluarga harmonis impian semua manusia. Yang Kala saksikan, di depan matanya, nyatanya adalah hal yang paling ia benci, yang paling tak ingin kedua matanya lihat.

Papa, Tante Anya dan anak mereka yang masih berusia tiga tahun.

Anak perempuan itu nampak terkikik kecil kala papa menciumnya berulang kali. Tangan kecilnya memegang dagu papa, menahan gerakan yang lebih tua untuk berhenti melayangkan ciuman.

Dulu, ia juga pernah seperti itu.

Tangan Kala meremat cup coffee yang berada dalam genggaman. Melampiaskan rasa tak nyaman ini pada benda tak bersalah yang menjadi saksi bersamanya.

"Ayo pulang." ucap Kamandanu pada Anya. Melupakan seseorang di belakangnya yang sejak tadi menatap mereka.

Kala menarik nafas panjang saat papa mulai melangkah memasuki mobil tanpa menoleh ke belakang. Padahal tadi papa yang mengajaknya ke cafe ini. Tapi, papa juga yang meninggalkannya di sini. Papa pulang bersama kebahagiaannya yang baru.

Meninggalkan raganya yang hancur lebur. Ini belum datang. Hari itu belum tiba. Akan tetapi rasanya sudah sesakit ini. Lalu bagaimana bila ia harus menyaksikan papa menjadi milik orang lain? Lalu bagaimana saat ia harus menyadari fakta, bahwa ia bukan satu-satunya anak papa lagi?

Kuat? Tidak, ia tidak akan kuat. Sakit dan hancur.

Mobil hitam papa sudah berjalan menjauh. Benar-benar menjauh. Kakinya lemas, ingin jatuh.

Pada akhirnya ia memang harus terbiasa untuk sendiri. Melangkah sendiri. Bila jatuh, ia harus bisa bangkit tanpa bantuan orang lain lagi.

Di dalam mobil, Kamandanu sesekali menggoda putri kecilnya yang duduk di pangkuan Anya. Si kecil tertawa geli kala tangan Kamandanu meraih perutnya. Gambaran keluarga bahagia.

"Mas, bagaimana pekerjaan kamu hari ini?" tanya Anya, lembut, yang membuat Kamandanu tersenyum.

"Baik-baik saja. Kalian sendiri baik, 'kan?"

"Baik. Tadi Lili juga belajar membaca lagi Mas. Dia pintar banget, padahal baru tiga tahun."

"Iya kah? Waaah Lili anak Papa pintar banget." Kamandanu mengacak kepala putrinya gemas. Lagi-lagi si kecil hanya tertawa.

"Tadi kamu ngapain ke cafe itu, Mas? Itu 'kan jauh dari kantor?"

Untuk sejenak, Kamandanu tersentak. Hampir saja memberhentikan mobilnya di tengah jalan. Kamandanu menoleh pada Anya.

"Kenapa, Mas? Ada apa?" Anya sedikit panik.

Tidak menjawab, Kamandanu hanya melajukan mobilnya dengan cepat. Mengantar Anya dan Lili tanpa singgah di rumah mereka. Padahal tadi Kamandanu sudah berjanji.

|✔| 36 HARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang