Papat - Haruskah Berakhir?

1.2K 190 62
                                    

Masuk ke warung Bu Sani dapat memperbaiki suasana hati Hani

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Masuk ke warung Bu Sani dapat memperbaiki suasana hati Hani. Dika yang selalu ada untuknya memang paling tahu apa yang Hani butuhkan. Hani heran kenapa laki-laki manis seperti Dika sampai detik ini belum memiliki pasangan?

Sejauh pengamatan Hani, Dika bukan pria neko-neko, sayang kepada ibunya, tidak boros—paling cuma untuk beli rokok, sisanya selalu diserahkan ke ibunya, pekerja keras juga, Hani jarang melihat Dika bermalas-malasan. Soal ibadah pun jangan ditanya. Salatnya tidak pernah bolong, tidak absen salat Jumat, ngajinya juga bacaannya bagus.

Hani tahu Dika bukan tipe pria pemilih. Dia bisa bergaul dengan siapa saja dan mau berteman dengan kalangan mana pun, orangnya tidak minder sama sekali. Hani tahu Dika pernah dekat dengan beberapa perempuan, tetapi tak satu pun yang langgeng. Entah kenapa alasannya, Hani tidak pernah bertanya, lebih tepatnya tidak mau mencari tahu. Padahal kalau dengan dirinya, Dika tidak pernah berlaku kasar.

Ketika Hani menyeruput es teh setelah nasi pecelnya habis, Dika sedang menghabiskan ayam laos dengan lahap. Ayam adalah makanan favorit laki-laki itu, mau diolah menjadi apa pun. Kalau mau membujuk Dika sangat mudah, cukup dikasih ayam dia akan luluh. Dika termasuk lamban saat makan. Katanya kalau buru-buru makanannya jadi kurang nikmat. Untung Hani sabar menunggu.

Hani melempar pandangannya ke arah lain. Melihat suasana warung yang tampak lengang. Kondisi ini mengingatkan Hani pada awal Dika mengajaknya ke sini saat masih SMA. Dulu kalau uang sakunya habis, Dika membayar makanannya dengan memberikan jasa sebab pantang baginya untuk mengutang. Bukannya Hani tidak mau membantu bayar, Dika sudah melarangnya duluan.

"Berapa semuanya, Bu?" Suara Dika yang bertanya pada Bu Sani mengembalikan Hani ke masa kini. Ternyata piring dan gelas Dika sudah kosong.

"Empat puluh lima."

Dika merogoh saku jaketnya dan menemukan uang pecahan lima puluh ribu. Lalu diserahkan kepada Bu Sani. "Sisanya ambil aja buat beli tusuk gigi."

"Pasti habis dapet penumpang tajir, nih," seloroh Bu Sani.

Dika meringis seraya mengusap kepala bagian belakangnya. "Alhamdulillah, Bu."

"Ibu doain semoga ojekmu lancar, banyak yang suka. Biar bisa ngumpulin modal nikah."

"Amin yang paling kenceng, Bu!"

Hani tersenyum melihat interaksi itu. Dia memang lebih suka mendengarkan daripada banyak bicara. Terlepas dari itu, Hani juga masih memikirkan Pram yang belum membalas pesannya. Sesibuk itukah dengan Kirana? Jadi, mereka ada hubungan apa?

"Han."

Hani menoleh. "Iya, Dik?"

"Nggak usah dipikirin. Pram tahu apa yang dilakukan. Dia pasti bakal nemuin kamu."

Hani tersenyum lagi. Tanpa bicara, Dika sudah tahu isi pikirannya. Itulah yang menyebabkan Hani betah bersahabat dengan Dika.

Hanya sahabat. Ya, Hani rasa dirinya dan Dika tak perlu memiliki status selain sebagai teman. Hani merasa takut jika perasaan turut ikut campur, ia justru akan kehilangan Dika.

SATRU - [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang