Hani sibuk mengepak pakaian miliknya yang akan dibawa ke Malang. Tidak hanya pakaian, Hani juga menyiapkan peralatan mandi dan perawatan tubuhnya. Ya, untung muat dalam satu koper. Jadi, ia tidak keberatan dan kelebihan muatan di kereta.
Ponsel yang menyala menyita perhatian Hani. Tangannya segera meraih benda yang terletak di dekat koper. Rupanya Bisma yang mengirim pesan di grup.
Bisma: Pokoknya kita kumpul jam 8, ya. Nggak boleh ada yang telat.
Ayu: Nggak ada dispensasi sepuluh menit buat ibu anak satu, gitu?
Sandi: Halah, tiap hari ke kantor kamu nggak pernah telat, tuh!
Ayu: Kan, beda, Paijo. 😌
Pesan-pesan itu hanya dibaca oleh Hani. Ia kembali mengecek daftar barang di dalam kopernya.
"Cieee, yang mau liburan."
Hani menoleh sekilas begitu mendengar suara Dika di ambang pintu. Sementara itu, Dika berjalan mendekatinya, duduk di kasur, lalu tangannya melingkar di pinggul istrinya dari belakang.
"Berat, Mas. Aku belum selesai," kata Hani saat Dika meletakkan dagunya di bahu.
"Oh, jadi, kamu maunya gini?" Bukannya berhenti, Dika malah mengecup leher Hani, membuat si empunya menggeliat geli.
Hani menghindar ketika Dika ingin menyambar bibirnya. "Tunggu bentar, aku belum selesai."
Dika mencebik, pura-pura ngambek. Namun, Hani tidak menggubrisnya. Tangannya masih sibuk menumpuk pakaian, lalu menutup koper.
"Udah, kan?"
Dika menurunkan koper Hani ke lantai. Setelah itu, ia kembali melancarkan serangan dari arah depan. Kan, selama seminggu harus puasa, jadi Dika mau menabungnya sekarang.
"Sebentar." Hani mendorong tubuh suaminya.
"Apa lagi? Besok kita LDR, Sayang. Aku mau seneng-seneng sama kamu malam ini."
"Iya, tahu, tapi perutku sakit. Kamu meluknya kekencengan."
"Eh, maaf." Dika segera merenggangkan lingkaran pada pinggul istrinya. "Kenapa nggak bilang dari tadi?"
"Ya, gimana mau bilang kalo dari tadi kamu gitu terus!"
Hani masih memegangi perutnya yang terus nyeri, padahal Dika sudah melepas pelukannya. Kalau dipikir-pikir, selama ini biasa saja kalau dipeluk. Apa jangan-jangan sebentar lagi tamu bulanannya datang? Rasanya memang seperti kram menstruasi. Payudaranya juga sakit dari kemarin. Anehnya, Hani sering merasa kelelahan padahal tidak melakukan aktivitas berat. Terkadang Hani ingin makan sesuatu, tapi kalau makan langsung muntah-muntah.
Dugaan Hani, sih, ke sana, tapi masih ragu-ragu sebab belum mencoba tes.
"Lagian, temen kamu ada-ada aja, deh, masa liburan nggak boleh ajak pasangan. Kan, aku juga mau tahun baruan sama kamu."
"Tahun kemarin, kan, udah," balas Hani enteng.
"Beda, Sayang. Dulu kita masih sahabat, sekarang kamu istri aku."
Hani mengernyitkan dahinya. "Bedanya apa?"
"Bedanya kita bisa rayain di sini."
Hani memutar bola matanya. Ya, Dika sama otak ngeresnya nggak bisa jauh-jauh. Untungnya Dika bilang begitu ketika sedang bersamanya saja. Kalau dengan perempuan lain, motor kesayangan pria itu akan terancam dijual.
"Masih sakit perutnya, Han?" tanya Dika.
"Masih. Kayaknya bentar lagi mau haid."
"Masa? Ini udah lewat tanggal 16, kamu juga nggak ngamuk-ngamuk, dari kemarin kamu salat terus, tuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
SATRU - [Terbit]
Romance[Juara #1 kategori Best Branding] Hani masih menyimpan rasa pada Pram-mantan kekasihnya-saat memutuskan menikah dengan Dika. Hani pikir dengan hidup bersama Dika, semuanya akan baik-baik saja. Namun, Hani lupa jika Dika adalah manusia biasa yang bi...