Dika memasuki ruang kerja ibunya dengan membawa dua piring berisi nasi goreng. Satu untuk Hasanah, satu lagi untuknya. Tentu nasi goreng itu bukan buatannya, melainkan beli di resto barengan dengan orderan pelanggan. Dika tidak mau membuat ibunya sakit perut setelah menyantap masakannya. Jadi, membeli di luar adalah jalan ninja pria itu.
Ruang kerja Hasanah tidak semewah milik orang-orang. Luasnya hanya 2x4 meter, berdampingan dengan ruang tamu. Di setiap sudutnya terdapat rak susun berisi bahan-bahan serta kerajinan tangan yang sudah jadi. Mesin jahit dan obras diletakkan di depan jendela supaya kalau siang hari Hasanah tidak perlu penerangan lagi. Untuk mengukur, memotong, dan menyetrika kain, dilakukan di lantai yang sudah dilapisi karpet.
"Buk, makan dulu."
Dika duduk di karpet, menyangga piring dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan sudah mulai mengaduk nasi. Dika berani duduk di sana karena sudah steril. Potongan pola yang hendak dijahit sudah dipindahkan ke keranjang dekat ibunya.
"Kamu masak?" Suara Hasanah terdengar samar sebab berbaur dengan suara mesin jahit, tapi masih bisa dijangkau Dika.
"Ya, nggak, lah, Buk. Aku beli sebelum pulang tadi."
Hasanah meraba pola tas yang sudah disatukan dengan benang, menggunting sisa-sisa benang, lantas membalikkan kain tersebut supaya terlihat hasilnya. Tidak ada masalah dengan mahakarya itu, Hasanah memilih menjeda kegiatan menjahitnya. Tangannya bergerak mematikan mesin dan beranjak duduk bersama putranya.
"Buk, ternyata daftar nikah cepet juga, ya."
Wanita berusia setengah abad itu melirik wajah sang anak. "Lah, kamu pikir berapa lama?"
"Kirain bisa berbulan-bulan, eh, ternyata ada jadwal kosong minggu depan. Ya udah diambil. Kalo barengan sama Anwar, kan, kasian Sofyan sama Joko bagi amplopnya gimana."
Hasanah geleng-geleng karena mulutnya sudah penuh dengan butiran nasi.
"Kenyataannya kamu yang nyalip Anwar," kata Hasanah setelah menelan hasil kunyahannya.
"Lah, iya juga."
"Terus, habis nikah kamu mau ajak Hani tinggal di mana? Tinggal di sini?"
"Aku udah sewa kontrakan deket sini, Buk. Nggak apa-apa, kan, kalau aku nggak tinggal di sini?"
"Nggak apa-apa. Ibuk nggak masalah kalau kalian mau mandiri. Yang penting bisa jaga diri. Entar sekali-kali ajak Hani menginap di sini, ya."
Dika manggut-manggut.
Hanya suara sendok bertemu dengan piring yang terdengar setelah itu. Porsinya sama, bahkan Dika makan lebih dulu, tetapi piring ibunya yang bersih duluan. Hasanah bangkit seraya membawa piring kosong.
"Taruh aja di sana, Buk. Nanti biar aku yang cuci," kata Dika sebelum ibunya pergi.
"Kamu nggak pergi lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SATRU - [Terbit]
Romance[Juara #1 kategori Best Branding] Hani masih menyimpan rasa pada Pram-mantan kekasihnya-saat memutuskan menikah dengan Dika. Hani pikir dengan hidup bersama Dika, semuanya akan baik-baik saja. Namun, Hani lupa jika Dika adalah manusia biasa yang bi...