"Pak Ali ini baru datang dari Jepang, jadi gak tahu apa-apa tentang persoalan Bapak. Kita kan sesama muslim, Pak, gak perlulah ribut-ribut begini. Semua bisa dibicarakan dengan kepala dingin. Iya, kan?" lanjut Pak Rifky. Suaranya tetap tenang seperti biasa, seolah tak terpengaruh oleh lawan bicaranya yang membawa beberapa orang berbadan besar.
Terlihat Pak Budi menimbang tawaran Pak Rifky, lalu berbicara sejenak dengan beberapa orang yang diajaknya, sebelum akhirnya berjalan di belakang Pak Rifky dan Pak Ali menuju gedung kantor.
"Kalian juga sebaiknya kembali ke ruangan masing-masing! Waktu istirahat sudah selesai!" tegur Pak Rifky pada orang-orang yang menonton kejadian tersebut.
Tia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu memang sudah menunjukkan pukul 13.00. "Eh, ayo kita masuk, sebelum ditegur lagi." Tia pun langsung menarik tangan Mirna ke arah kantin untuk membereskan kotak bekalnya dan cepat kembali ke ruangan HRD.
Terlihat Pak Rifky masuk ke ruangan bersama Pak Budi. Sedangkan Pak Ali menaiki tangga menuju ruangannya sendiri di lantai atas. Tampaknya Pak Ali sudah mempercayakan penyelesaian masalah ini pada Pak Rifky, hingga tak perlu ikut campur lagi.
'Semoga Pak Rifky bisa nyelesain masalah ini, jangan sampe pasukan Pak Budi bikin keributan lagi,' batin Tia.
Di dalam ruangan, Pak Indra sudah menunggunya, "Surat-surat yang kemarin diminta Pak Rifky udah selesai, Ti?"
"Sedikit lagi, Pak, abis itu tinggal di-print," jawab Tia yang langsung menyalakan komputer.
"Cepat selesaikan, ya, biar bisa ditandatangani hari ini, jangan sampai ditanyain lagi."
"Baik Pak."
Cepat gadis itu menyelesaikan tugas yang diberikan Pak Indra, tak ingin sampai diingatkan lagi. Apalagi jika yang mengingatkan adalah Pak Rifky, duh horor banget kayaknya.
Selesai mencetak laporan data pegawai outsourcing, Tia pun meletakkannya di meja Pak Indra, sementara ia beranjak keluar ruangan menuju pantry. Mengisi air minum sekaligus mencuci kotak makan siang, agar sudah bersih saat dibawa pulang.
Baru saja tiba di depan pantry, Tia sudah tertegun melihat siapa yang sedang berada di sana sedang menyiapkan beberapa cangkir. Jika menuruti pikiran, ingin ia berbalik saja dan kembali lagi nanti. Namun, hatinya ternyata berkata lain. Jadilah, kini ia malah benar-benar masuk ke dalam dapur bersih tersebut dan mendekati seseorang yang diamatinya sejak tadi.
“Emm, Pak Rifky ngapain? Kenapa gak minta tolong Samsu aja?” tanya Tia yang membuat orang yang disapa menoleh dengan kaget.
“Samsu lagi ke luar.” Hanya itu yang terucap sebelum akhirnya keduanya bertukar pandangan sejenak lalu sama-sama melempar pandangan ke arah lain.
“Sa-saya aja yang buatin, Pak. Nanti saya antarkan ke ruangan Bapak.” Entah mengapa, tiba-tiba saja Tia merasa gugup berada satu ruangan dengan seseorang yang terkenal dingin ini. Ia tahu sekali jika atasannya itu kini tengah melihatnya intens, seolah sedang menilai sesuatu.
“Kamu nggak repot? Kerjaan sudah selesai semua?”
“Hmm, yang bapak minta kemarin sudah selesai sih, tinggal ditandatangani aja," jawab Tia pelan, wajahnya tertunduk seolah tak berani menatap wajah pria tersebut terang-terangan. Sementara itu, Pak Rifky terdiam sejenak, sebelum akhirnya membuka suara kembali
“Oke, kalau begitu. Makasih, ya."
Selesai berucap demikian, Pak Rifky bergegas keluar dari pantry, meninggalkan Tia yang mengembuskan napas lega, bisa terbebas dari situasi tak mengenakkan ini. Sedikit menyesal mengapa tadi tidak langsung berbalik saja saat melihat siapa yang berada di pantry. Tapi, entah mengapa kakinya seperti tak mematuhi perintah otaknya, karena bukannya pergi ia malah melakukan sebaliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TERBIT] Secret Admirer
RomanceMendapatkan pekerjaan yang bagus dan kuliah di jurusan idaman adalah impian Tia. Entah mana yang lebih dahulu, boleh-boleh saja. Tapi apa jadinya jika ia malah keburu dilamar oleh Rifky, atasannya di kantor yang terkenal dingin terutama terhadap wan...