Malam baru saja melewati tengahnya. Namun Tia belum mampu memejamkan mata. Pikirannya masih mengingat semua yang terjadi hari ini. Detik demi detik terputar dengan sendirinya tanpa bisa dicegah.
Kala itu, selepas makan malam, mereka masih mengobrol sebentar di ruang tamu. Mama meminta Tia membuatkan teh yang tentu saja cocok untuk menghangatkan malam yang dingin setelah diguyur hujan.
"Nak Rifky sudah lama kerja di sana?" Mama tampak masih penasaran dengan tamunya, kembali menginterogasi Rifky.
"Hampir sepuluh tahun ini, Bu. Dulu malah saya cuma magang dari kampus. Alhamdulillah begitu magang selesai, langsung lanjut kerja."
"Udah lama juga, ya," sahut Mama.
Tia datang membawa nampan dengan empat cangkir teh lalu meletakkannya di meja tamu. Lantas duduk di kursi tunggal sebelah kanan Rifky.
"Diminum dulu, Nak Rifky," tawar Mama.
"Makasih Bu. Oh ya, Tia rencananya mau kuliah jurusan apa?" tanya Rifky pada Tia yang sudah bersikap biasa dengan kondisi yang ada.
"Niatnya sih jurusan komunikasi, Pak," jawab gadis berkerudung instan tersebut sambil tersenyum.
"Tapi kampus yang ada jurusan komunikasi kayaknya agak jauh dari sini," sahut Rifky lagi.
"Iya, Pak, lumayan mahal juga sih."
"Lagian, Tia mau dibantu Papa, nggak mau sih," timpal Mama tiba-tiba. "Coba kalau mau, pasti udah kuliah deh."
"Tia, kan, mau belajar mandiri, Mama. Nggak mau nyusahin Mama sama Papa lagi," sahut Tia mencebikkan bibir.
"Masa katanya mau tunggu dibiayai suami aja, Nak Rifky. Apa nggak aneh tuh? Bisa-bisa nggak kuliah-kuliah nanti."
"Ih, Mama, apa-apaan sih! Siapa juga yang bilang begitu? Mama ngarang nih!" protes Tia yang disambut gelak tawa oleh ketiga orang yang berada di sana. Jelas saja, semakin membuat gadis itu semakin menekuk wajah.
"Ya, sudah, Nak Rifky santai saja dulu, ya. Bapak izin ke kamar dulu, hari ini jalanan macet banget jadi capek gak karuan." Papa pamit ke kamar yang kemudian diikuti mama.
Namun, Rifky malah ikut undur diri dengan alasan tak ingin mengganggu istirahat Papa dan Mama Tia. Jadilah, Tia sendiri yang mengantar tamu mereka ke luar.
"Asli, keluarga kamu hangat ya. Apalagi mama kamu, asyik banget," ujar Rifky sambil tersenyum. Lalu berbalik dan menyandarkan tubuh ke mobil. Sementara, Tia hanya berdiri di dalam pagar saja, tersenyum mendengar ucapan atasannya tersebut.
"Maafin, ya, Pak, kalau Mama tadi tanya yang macam-macam. Temen-temen saya kalau ke sini juga pasti ditanyain terus. Udah kayak interogasi penjahat aja."
"Gak apa-apa, kok. Santai aja. Mama kamu nggak menyinggung apapun, lagi pula semua orang memang punya masa lalu, kan. Begitu juga saya. Dan kita tak bisa merubah masa lalu, kan. Kita hanya bisa berjuang merubah masa depan. Karena Allah nggak akan merubah nasib seseorang, kalo orang itu gak mau berjuang merubahnya, iya kan?" Seulas senyuman lagi-lagi muncul dari wajah Rifky, membuat Tia cepat-cepat mengalihkan pandangan.
"Boleh saya tanya sesuatu nggak, Pak?" tanya Tia ragu-ragu.
"Tanya apa?" Rifky balik bertanya sambil menatap Tia.
"Emm ... Tapi jangan marah, ya. Bapak di kantor sikapnya dingin banget, hmm ... sedangkan hari ini Bapak berbeda."
Rifky terdiam sejenak sambil menarik nafas panjang. "Kita nggak bisa menilai seseorang dari luarnya aja, kan. Kamu tau sendiri posisi GM yang kosong, setelah Pak Rudi resign. Otomatis semua tanggung jawab beralih ke saya," jawabnya sambil menatap sekilas ke arah Tia. "Saya tahu, kok, semuanya menganggap saya dingin, apalagi karyawan yang perempuan, yang senang ngerumpi kayak kamu," lanjutnya sambil tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TERBIT] Secret Admirer
RomanceMendapatkan pekerjaan yang bagus dan kuliah di jurusan idaman adalah impian Tia. Entah mana yang lebih dahulu, boleh-boleh saja. Tapi apa jadinya jika ia malah keburu dilamar oleh Rifky, atasannya di kantor yang terkenal dingin terutama terhadap wan...