Bab 12 - Pertolongan

520 70 9
                                    

"Maaf, ya, gue telat. Macet banget tadi," ujar Tia yang baru saja tiba seraya menyalami temannya satu persatu.

"Iyaa, nggak apa-apa, Say. Lu sama siapa? Sendirian?" tanya Fida, teman semasa sekolah menengah.

"Iyalah sendirian, emang mau sama siapa? Kan yang mau merried lu, Fid," timpal Tia mendudukkan dirinya di satu-satunya kursi yang masih tersisa. Berbagai hidangan telah tersaji di meja, pertanda ia benar-benar terlambat datang di acara Fida yang tak lama lagi akan menikah.

"Ya, kali aja lu ajak cowok lu ke sini, Neng."

"Cowok yang mana? Bokap gue?" canda Tia yang disambut tawa dari teman-temannya. Selain Fida, ada pula Mira, Susi dan Laeli yang walau sudah jarang bertemu, tetap masih saling menyempatkan untuk berkumpul bersama. Seperti hari ini, yang membuat Tia untuk pertama kalinya ikut bus jemputan yang mengarah ke Jakarta sepulang kantor.

"Selamat ya, Fid. Akhirnya lu nikah juga sama Juna. Gue beneran nggak nyangka loh," ujar Tia.

"Iya, gue juga kaget, gue pikir Juna cuma bercanda," sahut Fida semringah. Wajahnya dipenuhi kebahagiaan.

"Ortu ngizinin, kan?"

"Ya, awalnya sih nggak ngizinin, tahu sendiri kuliah gue baru aja mulai. Dia juga kerjanya masih kontrak. Tapi bokap gue ngeliat keseriusan Juna, akhirnya luluh deh," jelas Fida panjang lebar.

"Oh, gitu, ceritanya. Kita kehilangan temen ngumpul dong." Kali ini Laeli yang menimpali.

"Iya nih, geng kita jadi berkurang," rajuk Tia.

"Ihh, tenang aja sih, Neng. Gue udah sepakat sama Juna bakal nunda dulu punya anak. Paling ngga, sampe kuliah gue rampung. Jadi kita masih bisa maen bareng deh." Fida merangkul Tia dengan sayang.

Mereka pun larut dalam obrolan seru hingga tak terasa waktu semakin beranjak malam. Pertemuan ini pun terpaksa disudahi. Setelah berpamitan dengan disertai peluk cium, mereka pun berpisah dengan janji untuk berkumpul kembali di lain hari.

Tia melangkah seorang diri menuju tempat pemberhentian minibus yang akan membawanya pulang. Waktu sudah hampir pukul sembilan malam. Suasana mulai sepi. Banyak toko yang sudah tutup. Walaupun ada juga beberapa yang masih sibuk merapikan.

"Tenang, Tia, sebentar lagi busnya datang, abis itu tinggal minta jemput Papa," batinnya menenangkan. Agak was-was juga melihat kondisi sekitar yang mulai sepi.

Tia berdiri di pinggir jalan, menunggu lampu merah menyala untuk menyeberang. Namun, saat akan melangkah, tiba-tiba saja ada yang menarik tangannya. Keras. Membuat Tia tertarik ke belakang.

"Kamu mau ke mana? Aku udah bilang, kan, jangan tinggalin aku. Aku cinta banget sama kamu. Aku bisa mati tanpa kamu," ucap seorang lelaki dengan tubuh sempoyongan. Tangan mencengkeram kuat lengan Tia.

"Lepasin saya!" Tia mengibaskan tangannya. Berusaha melepaskan diri. Sayang, pegangan lelaki itu terlalu kuat.

"Aku nggak bakal ngelepasin kamu! Aku cinta kamu. Kita akan sama-sama sehidup semati. Aku akan bahagiain kamu!" Pria itu melanjutkan ocehannya. Masih dengan tubuh sempoyongan dan mata memerah.

"Lepasin saya!! Saya nggak kenal kamu!" Tia mulai berteriak sambil tetap berusaha melepaskan tangannya. Air matanya mulai menetes. Menyesal tadi menolak diantarkan Fida.

"Kamu sekarang mau ninggalin aku? Mentang-mentang aku sekarang nggak kerja. Bapak kamu juga nyuruh ninggalin aku. Segitu doang cinta kamu ke aku, hah?!" Lelaki itu ikut berteriak juga.

"Lepasin saya ... tolong ... saya mau pulang. Saya nggak kenal kamu." Air mata Tia kini sudah benar-benar meleleh, entah harus bagaimana untuk melepaskan diri dari lelaki asing ini.

[TERBIT] Secret Admirer Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang