Bab 17 - Rendi

497 72 10
                                    

Tia duduk dengan gelisah. Berkali-kali dilihatnya benda berwarna pink di pergelangan tangan. Padahal sudah lewat 30 menit dari yang seharusnya. Tapi orang yang dinanti belum muncul juga. Bahkan tanpa sadar gadis tersebut melihat ke arah pintu masuk tiap kali pintu itu terbuka. Tapi, hasilnya tetap nihil. Sementara hari sudah kian menggelap.

Akhirnya Tia memutuskan untuk menyudahi penantiannya. Ini sudah terlalu malam untuk menanti seseorang yang tak memiliki hubungan dengannya. Ia pun segera meraih tas di sisi kanan dan bersiap pergi. Hingga pintu membuka lagi dan seseorang mendekat.

"Tia. Maaf banget, gue telat," ujar seseorang yang baru saja datang setelah mendudukkan diri di hadapan Tia.

"Nggak apa-apa, gue baru aja mau pergi."

"Jangan marah gitu dong. Gue, kan, udah minta maaf tadi. Lagi juga di jalan macet banget. Ayo dong, jangan marah."

"Ren! Lu tahu, gak, gue udah nungguin lu berapa lama? Satu jam, Ren! Satu jam! Padahal gue udah janji mau nemenin nyokap pergi, tapi jadi batal gara-gara lu!"

"Iya. Iya. Maaf banget, Sayang. Janji besok-besok nggak telat lagi," ujar Rendi sambil tertawa kecil. Jelas saja membuat Tia melotot padanya.

"Sayang. Sayang. Pala lu peyang! Udah buruan mau ngomong apa? Gue udah kemaleman ini!"

"Galak amat sih. Cantiknya hilang nanti kalo marah begitu. Oh ya, mau pesen makanan nggak? Gue laper nih."

"Lu aja yang pesen, gue nggak laper. Buruan lu mau ngomong apa?"

"Sabar dong." Seorang pelayan datang membawakan menu dan setelah Rendi menyebutkan pesanan, ia pun pergi kembali. "Oh ya, gimana kondisi kantor?"

"Ya, kaya biasa aja, cuma sekarang Pak Ali yang gantiin Pak Rifky pegang perusahaan," jawab Tia sambil menyeruput sisa minumnya yang tadi.

"Oh, dia udah resign, ya?"

"Bukan, lagi cuti panjang."

"Cuti panjangnya di kantor polisi?" sindir Rendi. Pelayan yang tadi datang kembali mengantarkan pesanan Rendi. Meletakkan berbagai cemilan di meja kemudian berlalu kembali.

"Lu kayaknya udah tahu dia ada di mana. Tahu dari mana, hmm?"

"Ya, kan, beritanya udah menyebar ke mana-mana. Nggak mungkin gue nggak tahu, kan?" tukas Rendi sembari mencomot kentang goreng di depannya.

"Lu tahu juga kenapa dia bisa sampai ditahan?"

"Tahu, tapi nggak banyak," jawab Rendi setelah terdiam sejenak.

"Lu tahu masalah apa, Ren?"

"Kalau nggak salah, kasus penipuan gitu," jawab Rendi santai.

"Penipuan gimana?" pancing Tia.

"Dari yang gue dengar sih, katanya dia ada tanda tangan kontrak, tapi nyatanya mesin yang dijanjiin nggak pernah ada. Malah sekarang bilangnya nggak pernah tanda tangan kontrak," jelas Rendi panjang lebar sambil tertawa.

"Oh, begitu. Kalau di kantor beritanya beda lagi. Masa dibilang ngegelapin uang perusahaan segala, padahal buktinya nggak ada."

"Ya, bisa jadi aja bener. Buktinya sekarang terlibat masalah lagi, kan, malah sampai di penjara."

"Masalahnya sama perusahaan apa, Ren?" pancing Tia lagi.

"Sama instansi pemerintah gitu."

"Hah? Instansi apaan?"

"Tempat bokap lu deh kalau nggak salah. Bokap lu di Dinas Pekerjaan Umum, kan?"

Mata Tia membulat. Tak percaya dengan yang baru saja didengar. "Kok, lu bisa tahu, Ren?"

[TERBIT] Secret Admirer Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang