Rifky menyambut ketiga gadis itu dengan senyum ceria. Terlebih saat mengetahui menu yang dibawa adalah makanan kesukaannya, rendang daging buatan ibunda tercinta. Mereka pun bersantap bersama.
"Tia, kamu habis begadang semalam?" Rifky memperhatikan gadis yang duduk di depannya dengan seksama.
Sementara yang ditanya masih asyik dengan pikirannya sendiri. Hingga Mirna menyenggol lengannya, barulah ia mengangkat kepala. "Eh, kenapa? Pak Rifky tanya apa?"
"Kamu ngelamun? Mikirin apa? Kurang puas semalam begadang," ulang Rifky yang disambut tawa dari Mirna dan Risa.
"Ehh, saya nggak begadang, kok. Cuma emang lagi susah tidur aja, banyak nyamuk," jawab Tia asal dengan senyum yang dipaksakan.
"Tapi mukamu kayak habis nangis semalaman."
Tia mengangkat wajahnya kembali. Menemukan lelaki di hadapan menatapnya intens. Tia memberanikan diri membalas tatapan tersebut. Berharap dapat menemukan kebenaran dari ucapan Rendi melalui kedua mata elang tersebut. Namun, akhirnya ia kalah dan memilih untuk menundukkan wajahnya kembali.
"Kenapa diam aja? Ada yang terjadi kemarin?" lanjut Rifky demi melihat Tia murung kembali.
"Nggak ada apa-apa, kok, Pak. Saya baik-baik aja. Nggak ada yang terjadi kemarin." Tia menjawab cepat, dengan senyum yang kembali dipaksakan. Siapapun yang melihat, pasti tahu ada yang disembunyikan di balik senyum tersebut. Namun, Mirna dan Risa memilih diam dan meneruskan makan. Berbeda dengan Rifky yang malah mendorong piringnya. Seolah sudah kehilangan minat untuk menghabiskannya.
Selesai makan, Mirna dan Risa membersihkan alat makan di wastafel di pojok ruangan. Meski tak menggunakan sabun, setidaknya sisa makanan tak ada lagi. Tinggallah Tia di meja yang masih berusaha menghabiskan makanan sembari menunduk dalam-dalam dan Rifky yang sibuk mengamatinya. Bukannya Tia tak tahu hal tersebut, justru karena ia tahu, makanya lebih memilih menunduk. Meski kepalanya dipenuhi banyak pertanyaan, ia tak tahu harus memulai dari mana.
"Tia, tahu persamaan kamu dengan gerhana bulan?" ujar Rifky tiba-tiba, memecah keheningan yang ada di sekitar mereka. Pelan Tia mengangkat wajah dengan bingung.
"Sama-sama bisa dilihat dengan jelas," lanjutnya seraya menatap manik mata gadis tersebut.
"Apanya, Pak?"
"Ya, kelihatan jelas kalau ada sesuatu yang terjadi."
"Apa iya sejelas itu?"
"Tuh, muka kamu kusut aja dari tadi. Ada yang bisa saya bantu, hmm?"
Pelan Tia mengembuskan napas panjang. Ia tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi patut dicoba bukan. Dia butuh jawaban untuk semua pertanyaan yang sejak beberapa hari bergelayut di benaknya. Dia butuh penjelasan atas semua tsunami informasi yang ia terima beberapa hari terakhir ini.
"Kalau memang ada masalah, apa peduli Bapak? Toh, saya bukan siapa-siapa Bapak."
Rifky sempat terkejut seketika, tak menyangka gadis di hadapan akan berkata demikian. Namun, dengan tenang dibalasnya tatapan Tia seraya mencari kata-kata terbaik yang bisa diucapkan.
"Tentu saja saya peduli denganmu. Sampai kapanpun, saya akan tetap peduli, meski kamu tidak suka."
Tanpa diduga hati Tia berdesir halus mendengarnya. Namun sekuat tenaga berusaha ia tepis. "Kalau Bapak memang peduli, ceritakan pada saya, apa hubungan Bapak dengan kecelakaan yang menimpa papa saya beberapa tahun lalu. Bapak berani?"
Rifky menghela napas panjang berulang kali. Tampaknya semua yang dikatakan Tia hari ini membuatnya terkejut berkali-kali. "Dari dulu saya sudah bersiap jika suatu saat pertanyaan ini datang. Tapi nyatanya, saya tetap aja kaget."
KAMU SEDANG MEMBACA
[TERBIT] Secret Admirer
RomanceMendapatkan pekerjaan yang bagus dan kuliah di jurusan idaman adalah impian Tia. Entah mana yang lebih dahulu, boleh-boleh saja. Tapi apa jadinya jika ia malah keburu dilamar oleh Rifky, atasannya di kantor yang terkenal dingin terutama terhadap wan...