"Boleh, boleh, Pak." Kali ini Mirna yang menjawab, tapi kakinya langsung diinjak oleh Tia. "Aaawww!"
"Kenapa, Mir?" tanya Pak Rifky sambil menoleh.
"Eh, nggak, Pak. Ini loh, mie ayamnya pedes banget," jawab Mirna sambil melotot ke arah Tia. Dewi dan Hani hanya tertawa cekikikan melihat tingkah mereka berdua.
"Ya sudah, nanti saya telepon, ya. Saya mau keliling lagi." Pak Rifky kemudian beranjak dari kursi lalu berjalan menuju depan tribun dan menghilang tak lama kemudian.
"Apaan sih lu, Ti, pake injek kaki gue segala?" tanya Mirna.
"Lu juga kenapa bilang begitu ke Pak Rifky? Ngerepotin orang aja sih lu."
"Ya, kan dia yang ngajakkin. Rezeki itu gak boleh ditolak, Neng. Dosa. Gak apa-apa, ya, kita pulangnya nebeng Pak Rifky. Hitung-hitung pengiritan lah," ujar Mirna meminta pendapat yang lain.
Yang lain tak ada yang merasa keberatan. "Ya, udah, nggak apa-apa. Daripada naik busway lagi pasti penuh banget, kan," sahut Dewi.
"Iya, enak sekali jalan doang, nggak perlu naik turun kendaraan. Eh, Pak Rifky ini atasan kalian di kantor, ya? Baik, ya, orangnya," tukas Hani.
Tia dan Mirna berpandangan sejenak sebelum akhirnya tertawa. "Kalian nggak tahu aja gimana dia kalau di kantor. Kalah freezer dinginnya," sahut Mirna sambil tertawa. Tia ikut tertawa mendengar jawaban sahabatnya itu.
"Seriusan? Kok tadi baik banget, sampai nawarin pulang bareng segala?" tanya Hani dengan raut tak percaya. Namun, segera dijawab dengan anggukan oleh Tia dan Mirna.
"Sayang, ya. Ganteng-ganteng, kok, manusia kulkas," timpal Dewi yang disambut gelak tawa teman-temannya.
Mereka lalu kembali menikmati makan siang dengan ditemani lantunan nasyid kesukaan. Senyum dan tawa menghiasi wajah mereka. Meneruskan obrolan hingga melebar ke mana-mana. Sungguh momen persahabatan yang tak terlupakan.
Satu jam kemudian, mereka sudah asyik berburu dari satu booth ke booth yang lain lagi. Melihat segala barang atau mencicipi makanan di booth yang kebetulan menjual makanan. Di saat itulah sebuah panggilan masuk ke ponsel Tia. Suasana yang ramai membuat Tia tidak segera menyadari. Baru setelah panggilan kelima, panggilan tersebut akhirnya terjawab.
"Halo, assalamualaikum," sapa Tia.
"Waalaikumussalam. Tia, kamu sama temen-temen sudah selesai? Kalau udah, saya tunggu di pintu masuk utama, ya. Mobil saya diparkir dekat situ."
"Maaf ini siapa?" tanya Tia kembali pada suara di seberang sana.
"Rifky Pramudya."
"Siapa? Nggak jelas suaranya." Kali ini Tia berteriak berusaha mengalahkan suara di sekitar yang ramai.
"Rifky ... Rifky Pramudya ... Saya tunggu di parkiran dekat pintu masuk utama."
"Oh ya, maaf, Pak, di sini rame banget. Baik, Pak, saya sama teman-teman langsung ke sana."
"Ayo, kita keluar. Pak Rifky udah nunggu di pintu masuk utama," ajak Tia pada teman-temannya.
"Hani!! Cepetan milih bukunya! Udah ditungguin Pak Kulkas nih!!" teriak Mirna demi menyamai keriuhan sekitar.
"Astaghfirullah! Mirna! Kalau orangnya denger, bisa dapat SP lu," timpal Tia sebelum akhirnya tertawa.
Tak lama Hani keluar dari kerumunan dengan membawa tas plastik. Mereka pun bergegas menuju pintu masuk. Sempat tertahan karena pengunjung yang semakin ramai saat hari menjelang sore begini. Barulah lima belas menit kemudian mereka berhasil keluar gedung.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TERBIT] Secret Admirer
RomanceMendapatkan pekerjaan yang bagus dan kuliah di jurusan idaman adalah impian Tia. Entah mana yang lebih dahulu, boleh-boleh saja. Tapi apa jadinya jika ia malah keburu dilamar oleh Rifky, atasannya di kantor yang terkenal dingin terutama terhadap wan...