Bab 11 - Gosip

544 73 10
                                    

Alarm dari ponsel Tia berbunyi nyaring, membuat sang empunya menggeliat perlahan. Meraba kasur di sisinya mencari benda pipih tersebut dan mematikannya. Dengan malas, Tia memaksa netranya membuka, ia tak boleh terlambat hari ini. Terlebih ia bertugas untuk membangunkan Papa untuk bersiap ke kantor juga.

Setelah Papa yang tertidur di sofa terbangun, Tia segera masuk ke kamar mandi. Secepat kilat membersihkan tubuh kemudian keluar dengan mengenakan bathrobe lalu menggelar sajadah. Mendirikan sholat dua rakaat.

Selesai mendirikan sholat, segera ia bersiap. Mengambil tunik serta celana kulot dari lemari. Tak lama kemudian ia berjalan menuruni anak tangga. Pagi ini ia harus menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Papa, meski hanya roti tawar dengan selai cokelat. Dikarenakan Mama yang masih menginap menunggui Budhe Yani di rumah sakit.

"Kamu nanti nggak apa-apa sendirian di rumah? Papa siang ini ada rapat, takutnya selesainya sore banget," ujar Papa sesaat setelah menyeruput kopi. Menatap putri satu-satunya yang sedang mengoleskan selai.

"Nggak apa-apa dong, Pa. Tia kan udah gede, masa di rumah sendiri aja takut."

"Ya, mudah-mudahan aja nggak hujan," kata Papa lagi.

"Mudah-mudahan."

Tia sedikit was-was kala mengingat beberapa hari ini memang sering turun hujan terutama sore hingga menjelang malam. Semoga saja hanya hujan tanpa disertai petir. Ia paling takut jika mendengar suara petir, terlebih jika sudah bersahut-sahutan. Bisa dipastikan ia akan menghampiri Mama dan minta ditemani hingga hujan mereda.

Tak berselang lama, mereka pun berangkat bersama. Seperti biasa, Tia turun di tempat pemberhentian bus jemputan dan mendapati Mirna telah berada di sana. Bercerita panjang lebar dan mengantre dengan sabar saat bus datang. Lalu melanjutkan obrolan di dalam bus hingga tiba di pelataran kantor.

Semua berjalan normal seperti biasa, hingga saat tengah mengantre absen, kejadian tak mengenakkan mulai terjadi. Beberapa orang berbisik-bisik, sambil sesekali menunjuk ke arah Tia. Anehnya, saat ia menoleh, mereka langsung terdiam.

Begitu juga saat Tia dan Mirna berjalan ke ruangan, atau ketika berada di mushola pada saat istirahat dan makan siang, selalu ada saja orang yang menatap sinis sambil berbisik-bisik. Tia heran dengan semua itu, tapi tak mengerti apa yang terjadi.

"Neng, emang hari Minggu kemarin lu pergi sama Pak Rifky?" tanya Mirna yang baru saja kembali dari bagian produksi.

"Hah? Gue sama Pak Rifky? Nggak salah lu?" Tia menoleh dengan terkejut.

"Hmm, banyak sih yang bilang ... hmm ...." Mirna melihat Tia dengan ragu-ragu.

"Iya, bilang apa? Siapa yang iseng bikin gosip begitu?" kejar Tia penasaran.

"Tenang, Neng, sabar, ya. Jadi, gini, tadi gue kan ke bagian produksi, nggak tahunya di sana lagi rame banget. Kepo dong gue, pas gue tanya, hmm, mereka lagi ngomongin lu sama Pak Rifky."

"Iya, ngomongin apa?" Tia mulai kehilangan kesabaran.

"Katanya lu jalan sama Pak Rifky. Malem-malem, ada fotonya juga malahan." Mirna menatap sahabatnya itu dengan was-was.

"Coba mana fotonya, gue mau liat! Awas aja kalo nggak bener."

"Bentar, tadi Teh Wanti bilang mau kirimin ke gue." Mirna segera membuka ponselnya. "Nih, liat, deh."

Setengah tak sabar, Tia merebut ponsel tersebut. Nampak di sana, foto dirinya yang keluar dari mobil Rifky. Lalu di slide berikutnya ada foto Rifky yang menyusul berjalan di belakang Tia. Dan trakhir foto Rifky yang sedang membukakan pintu mobil dengan Tia di sisinya.

[TERBIT] Secret Admirer Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang