Bab 9 - Dingin yang Menyapa

624 80 14
                                    

[Wanita shalihah itu ibarat permata yang tersembunyi di dalam lumpur. Sekalipun tak nampak, ia tetaplah permata, bukan kerikil. Yang tetap memiliki kemilau indah. R]

Begitu isi tulisan dalam kartu. Tia menghela napas panjang lalu meletakkan kartu tersebut di meja. Diliriknya benda dalam bungkusan bening tersebut. Tersembul hangtag bertuliskan sebuah brand yang Tia ketahui memproduksi pakaian muslimah kelas premium, dengan harga di atas lima ratusan ribu. Mendadak kepalanya pening seketika. 

Tak dipungkiri hatinya sedikit berbunga dengan semua ini, termasuk kejadian kemarin saat Rifky menjadi tamu yang tak diundang. Susah payah ia mengingatkan diri sendiri bahwa lelaki itu tak mungkin memiliki perasaan khusus padanya. Terlebih ia hanya anak kemarin sore, dibanding Rifky yang lebih matang hampir di segala hal.

"Ti, jam sebelas kita semua kumpul di ruang meeting ya. Ada yang mau disampaikan Pak Ali sebelum ke Jepang. Oh ya, data payroll bulan ini cepat selesaikan, ya. Biar bisa ditandatangani sebelum beliau pergi," ujar Pak Indra yang tiba-tiba sudah ada di depannya.

"Eh iya, Pak. Semuanya ikut ke ruang meeting apa cuma orang tertentu aja?"

"Semuanya, ada pengumuman juga soalnya dari Pak Ali. Oh ya, data payroll jangan lupa, ya." Kemudian Pak Indra pun keluar dari ruangan.

Tia segera menyimpan baju beserta goodie bag-nya dalam laci dan lanjut mengerjakan tugasnya. Menyelesaikan data payroll yang sedikit lagi rampung. Karena memang masih ada beberapa data yang kurang, seperti data lemburan, komisi marketing, dan lainnya.

Tia kemudian menghubungi admin di bagian masing-masing melalui interkom, meminta dikirimkan data-data yang kurang secepatnya.  Karena payroll harus selesai siang ini juga, atau mereka terancam terlambat gajian.

"Pak Indra ke mana?" 

Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan Tia. Saat menoleh, ia menemukan Rifky sudah berdiri di ambang pintu.

"Tadi keluar, Pak. Saya nggak tahu ke mana."

Demi mendengar jawaban tersebut, Rifky pun hendak menutup pintu kembali. Tia yang melihatnya, segera memanggil.

"Eh, sebentar, Pak."

Rifky terdiam sembari menatap Tia. Menunggu apa yang akan dikatakan gadis tersebut. Tia sendiri segera mendekat setelah mengambil goodie bag di laci.

"Maaf, saya tidak bisa menerima ini, Pak." Tia mengangsurkan tas kertas tadi pada lelaki di hadapannya. Rifky menatap tas itu sejenak, lalu beralih pada Tia. Keningnya berkerut heran.

"Kenapa?"

"Ini terlalu mahal untuk saya. Lagi pula saya bukan siapa-siapa untuk Bapak. Rasanya saya tidak pantas menerimanya," jawab Tia dengan wajah tertunduk.

"Jadi, yang kemarin pegang gamis ini sambil tersenyum, bukan kamu, ya? Yang kemarin langsung pergi setelah tahu harganya, juga bukan kamu?" Rifky menatap Tia lalu meraih goodie bag dari tangan gadis tersebut.

"Bapak … ngikutin saya kemarin?" Tia menutup mulut seolah tak percaya dengan yang baru saja dikatakannya.

"Sama sekali nggak ngikutin. Cuma kebetulan aja lihat. Saya pikir kamu suka, lagi pula saya hanya ingin memberi, nggak ada maksud lain. Tapi kalau kamu memang nggak mau, kamu bisa berikan ke orang lain." Rifky melangkah ke meja terdekat, meletakkan goodie bag tadi di atasnya lalu beranjak keluar.

"Kenapa sih nggak diambil aja? Bikin gue mikir yang aneh-aneh aja," gumam Tia yang langsung meraup goodie bag dan mencampakkannya ke dalam laci. Lalu kembali pada pekerjaan semula.

Tak lama berselang, terdengar pintu kembali terbuka. Wajah Mita muncul di sana.

"Tia, hayuk ke ruang meeting. Semuanya udah ngumpul tuh."

[TERBIT] Secret Admirer Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang