Bab 25 - Lelah dengan Semuanya

587 75 20
                                    

Hari sudah mulai gelap saat Tia tiba di rumah. Setelah beberapa pekan mengurung diri di rumah saja, akhirnya hari ini ia memberanikan diri ke luar rumah lagi di akhir pekan ini. Menghadiri kajian seperti yang hampir setahun ini dilakukannya bersama Mirna. Dan lihatlah! Ia kini melangkah ringan memasuki pagar, bahkan dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya.

Masih terngiang di benak Tia pembahasan Ustadzah tadi, bahwa Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Jadi, semua yang terjadi ini adalah kehendak Allah dan ia pasti sanggup menghadapinya. Ia hanya tinggal bersabar dan ikhlas menjalani semuanya.

Setiba di pintu depan, samar didengarnya suara Mama bercakap dengan seseorang. Bahkan sempat menyebutkan nama dirinya juga. Tia yang penasaran urung melangkah masuk, ia malah berdiri di pintu sambil berusaha menajamkan pendengaran. Penasaran dengan siapa Mamanya berbicara saat ini?

"Iya, sekarang Tia jadi cepat marah kalau ada yang nggak sesuai kemauannya. Emosinya masih naik turun banget. Ibu paham sih, dia masih trauma dengan kejadian terakhir, tapi ... gimana, ya ... diajak ke psikolog tetap aja nggak mau." Mama kemudian terdiam sejenak, mendengarkan seseorang di seberang sana berbicara sambil mengiyakan.

"Tadi sih bilangnya mau ikut kajian sama Mirna. Ya, Ibu senang sih dia akhirnya mau ke luar rumah lagi. Tapi, kalau ada kesempatan coba aja Nak Rifky ajak bicara pelan-pelan, ya. Siapa tahu dia mau terbuka dan keluarkan semua uneg-unegnya. Iya, dia belum mau cerita apa-apa soalnya, gimana Ibu gak jadi khawatir coba?"

Tia sedikit terkejut saat Mama menyebutkan nama Rifky. "Sejak kapan Mama jadi berhubungan sana Pak Rifky? Terus dapat kontaknya dari mana coba? Apa jangan-jangan Pak Rifky sengaja dekatin Mama biar jalannya buat nikah sama gue makin mulus? Ngebet banget sih itu orang!" batin Tia yang sudah terlanjur overthinking terhadap atasannya tersebut.

Akhirnya dengan memasang muka innocent Tia masuk seraya mengucap salam. Mama yang terkejut segera mengakhiri percakapannya dan menyambut Tia seolah tak terjadi apa-apa. Tia pun enggan bertanya lebih lanjut, toh ia sudah mendengarnya langsung. Tapi, ia sudah berencana untuk menemui Rifky esok hari di kantor.

****

"Yuk, pulang."

Sebuah suara mengagetkan Tia yang baru keluar dari ruang pemeriksaan. Cepat ia menoleh ke arah sumber suara dan terdiam melihat siapa yang berbicara tadi. Entah apa yang ada di pikirannya, yang jelas cukup lama ia mematung sambil melihat Rifky yang kini sudah mendekat.

"Tia?" tanya Rifky dengan tangan yang digerakkan di depan wajah Tia. "Ada apa?"

Beberapa saat kemudian, barulah kesadaran Tia kembali. Ia menghela napas panjang sambil melangkah keluar. Semoga ini adalah kedatangannya yang terakhir ke sini, semoga tak akan ada lagi pemanggilan untuk saksi ataupun yang lain. Lelah rasanya dengan semua ini, ia ingin hidup tenang kembali.

Tia yang sudah berusaha melupakan semua dan hidup dengan normal, kini harus berurusan kembali dengan urusan Ferdi dan Rifky. Mau tak mau, ia jadi mengingat kembali kejadian yang sangat ingin ia lupakan terutama yang berkaitan dengan Rendi.

Meski ia sudah meminta untuk menyelesaikan urusan dengan Rendi secara kekeluargaan, tampaknya Rifky masih belum puas. Ya, lelaki itu yang membuat laporan tentang perbuatan Rendi dan kini ia wajib datang untuk memberi persaksian.

"Tia. Kamu baik-baik aja?" Rifky tampaknya masih belum puas sebelum mendapat jawaban, buktinya ia masih mengikuti Tia sampai ke luar kantor polisi. Lalu menarik lengannya hingga gadis itu berbalik dan menghadap Rifky sepenuhnya.

"Apa Bapak pikir saya akan baik-baik setelah dipaksa mengingat semuanya lagi? Padahal susah payah saya berusaha melupakan semua. Berusaha hidup dengan normal lagi. Terus sekarang Bapak tanya saya baik-baik aja?"

[TERBIT] Secret Admirer Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang