"Jadi, ada perempuan siapa lagi di masa lalu Mas Rifky? Atau masalah dengan siapa lagi selain Ferdi yang perlu Tia tahu? Kenapa berat sekali rasanya jadi istri seorang Rifky Pramudya."
Tia bangkit dan beranjak dari sana. Memasuki kamar lalu membanting pintu di belakangnya. Melabuhkan semua rasa di pembaringan dengan air mata yang sudah tumpah. Tak peduli pula pada Rifky yang masih tercenung di meja makan.
Entah berapa lama Tia berada di kamar dengan wajah tertelungkup sambil mendekap bantal yang telah basah. Tak sadar pula jika akhirnya jatuh tertidur dalam posisi demikian. Sudah lewat tengah malam saat Rifky masuk lalu menutup tubuh istrinya dengan selimut. Sempat dikecupnya kening Tia perlahan seraya berbisik kata maaf berulang kali.
Paginya, Tia terbangun dan tidak menemukan siapapun di sana. Sisi tempat tidurnya kosong bahkan terasa dingin. Bergegas ia ke kamar mandi karena jam di nakas hampir menunjuk angka enam. Ya, ia kesiangan waktu Subuh. Heran mengapa Rifky tak membangunkan.
Selesai bersiap-siap, ia keluar kamar dan tak menemukan Rifky. Mobilnya saja sudah tak lagi di parkiran. Sebuah dugaan timbul tapi ditepisnya. Namun, ketika melewati meja makan, langkahnya terhenti. Di sana sudah terdapat sarapan yang entah kapan disiapkan Rifky, berikut pesan jika suaminya ada seminar pagi ini jadi harus berangkat lebih awal.
Cepat Tia bersiap ke kantor karena jam sudah hampir di angka tujuh. Ia benar-benar kesiangan dan tak sempat lagi untuk ikut jemputan seperti sebelumnya. Sempat terkejut pula saat hendak memesan ojek online, karena ternyata ponselnya mati kehabisan baterai. Dan saat dinyalakan kembali, banyak pesan yang masuk dari Rifky yang berusaha membangunkannya sejak Subuh.
**
"Kok, tumben telat, Neng? Kesiangan?" sapa Mirna saat Tia datang dengan napas tersengal. Padahal ia hanya berjalan, tapi rasanya lelah sekali.
"Iya. Kesiangan gue, mana ojeknya lama. Eh, Pak Indra ke mana?" Tia melihat meja Pak Indra yang kosong.
"Loh, bukannya pergi sama si bapak? Tadi sih WA bilang begitu."
Tia mengangguk lantas menuju mejanya sendiri. Beruntung Pak Ali masih ada di kantor, terlihat dari mobilnya yang berada di parkiran, jadi bisa langsung memeriksa laporan payroll setelah selesai dikerjakan. Mengetahui suaminya hanya pergi dengan Pak Indra, ia jadi sedikit qtenang.
Namun, hingga jam makan siang tiba, Hera sama sekali tak terlihat di kantor. Tidak juga di lantai atas saat Tia mengantarkan laporan ke ruangan Pak Ali. Hatinya kembali cemas.
"Apa jangan-jangan pergi bareng Pak Indra?" gumam Tia sambil memperhatikan ke arah kantor kalau-kalau orang yang dicari tiba-tiba muncul.
"Tia, kok nggak dimakan sotonya? Nanti sakit gimana?" tanya Mirna yang baru kembali dari toilet.
"Telat, Mir. Udah kambuh maag gue."
"Lha emang tadi nggak sarapan?"
"Sarapan sih. Dikit."
"Lagian telat makan terus sih, jaga kesehatan dong. Lagi musim hujan gini, banyak penyakit, Neng."
"Iya, siap, Nek. Cucu bakal lebih jaga kesehatan lagi," sahut Tia dengan suara yang dibuat seperti anak kecil. Namun, segera mendapat jitakan dari Mirna. Keduanya lalu tertawa bersama. "Lagian, lu udah kayak nenek-nenek sih."
"Awas lu, ya! By the way, kenapa sih dari tadi liatin ke office aja?"
"Nggak apa-apa, cuma heran aja, Mbak Hera kok nggak keliatan, ya, dari tadi."
"Pergi sama Pak Indra kali … eh, maksud gue ada urusan di luar juga gitu," ralat Mirna saat melihat sahabatnya semakin murung.
Namun, Tia sudah terlanjur tak berselera lagi untuk apapun. Jadi, didorongnya soto ayam yang bahkan baru termakan beberapa suap saja, selain memang rasanya yang tak seperti biasa. Begitu pula saat kembali ke ruangan, Tia lebih banyak terdiam seraya melihat layar ponsel.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TERBIT] Secret Admirer
RomanceMendapatkan pekerjaan yang bagus dan kuliah di jurusan idaman adalah impian Tia. Entah mana yang lebih dahulu, boleh-boleh saja. Tapi apa jadinya jika ia malah keburu dilamar oleh Rifky, atasannya di kantor yang terkenal dingin terutama terhadap wan...