"Tia? Kayaknya kita berapa kali ketemu, kan? Kenapa nggak bilang kalau kamu istrinya Mas Rifky?"
Tia tertegun sesaat, kemudian melirik Mirna yang sudah berada di tempatnya. Gadis itu menggeleng samar, membuat Tia akhirnya mengalah. Tak ingin mencari masalah dengan Hera. Tapi, rasa penasaran tak bisa ia bendung lagi.
"Iya, Bu. Kenapa memangnya?"
Hera tertawa pelan kemudian mengibaskan rambutnya ke belakang dengan anggun. "Nggak apa-apa, cuma penasaran aja, kayak apa istrinya Mas Rifky. Karena nggak mungkin orang selevel dia cari istri sembarangan."
Jika ucapan Hera diibaratkan belati, maka rasa sakitnya berkali-kali lipat dibanding saat Tia terkena tusukan tempo hari. Ya, ia paham sekali apa maksud ucapan wanita ini. Tapi, lagi-lagi Mirna menggeleng, Tia jadi terpaksa mengabaikan Hera lalu beranjak ke meja kerjanya.
Namun, Hera yang tampaknya belum puas, malah duduk di kursi putar depan meja Pak Indra. "Tadinya saya pikir Mas Rifky nolak saya, karena wanita pilihannya jauh di atas saya. Sampai bela-belain kuliah di Australi biar nggak ada alasan buat nolak lagi. Tapi … ya sudahlah … mungkin seleranya sekarang berubah."
Usai berkata demikian, Hera keluar ruangan. Tinggal Tia yang termenung di kursinya. Sibuk memikirkan tiap kata yang Hera katakan. Sebagian hatinya membenarkan apa yang ia katakan, sementara sebagian lagi berkata bahwa jodoh ada di tangan Allah. Mau berusaha bagaimana pun, jika belum jodoh, ya tak akan bersama.
Namun, kata-kata tadi benar-benar mempengaruhi mood-nya seharian ini. Tia jadi lebih banyak diam dan sering melamun. Berulang kali Mirna berusaha menghibur, tapi tetap gagal. Begitu pula saat makan siang bersama Rifky, Tia tetap lebih banyak berdiam diri. Hingga Rifky akhirnya menyerah dan memilih membiarkan.
"Tunggu sebentar, ya. Masih ada kerjaan sedikit nih," ujar Rifky saat Tia ke ruangannya kembali selepas jam kerja. Lelaki tersebut masih berkutat dengan setumpuk berkas di hadapan, membuat Tia tak tega mengganggu.
"Tia ke mushola dulu, ya. Belom sholat nih." Tia keluar lagi dan berjalan menuju mushola. Suasana kantor sudah cukup sepi, bus jemputan telah pergi sepuluh menit lalu. Tersisa beberapa orang saja yang masih berada di parkiran motor. Tia sendiri langsung berwudhu untuk mendirikan sholat Ashar.
Dua puluh menit kemudian, Tia kembali berjalan ke arah kantor. Berharap semoga pekerjaan suaminya telah rampung semua. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar ada orang bercakap-cakap dari dalam.
"Kenapa kamu nggak bilang kalau istrimu staff sini juga, Mas?"
Tia menahan napas, suara itu kini sudah akrab di pendengarannya. "Sedang apa dia di dalam sana?" batin Tia urung membuka pintu.
"Kenapa memangnya?"
"Ya, heran aja sama seleramu sekarang, Mas. Anak kemarin sore gitu kok dinikahin. Bisa apa coba dia?"
Tia tak mendengar jawaban apapun dari Rifky, hanya tawa khasnya saja yang menimpali ucapan Hera.
"Kok, malah ketawa sih? Saya serius, Mas. Orang tuanya apa nggak ngelarang, anaknya nikah masih anak-anak begitu?"
"Apa salahnya nikah sama yang lebih muda? Orang tuanya aja ngizinin. Lagi pula dia udah punya KTP, kok, bukan anak-anak lagi."
Hera tertawa pelan. "Ya, punya KTP juga nggak mencerminkan kedewasaan, kan? Padahal niatku pulang salah satunya karena kamu, Mas."
Suasana menjadi hening sejenak. Baik Rifky ataupun Hera tak ada yang berbicara. Tia jadi sibuk menduga-duga apa yang terjadi di dalam. Kenapa juga tak terdengar apa-apa lagi dari sini. Hingga sebuah sentuhan di pundak mengagetkan Tia. Cepat ia menoleh dan menemukan Pak Ali sudah berada di belakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TERBIT] Secret Admirer
RomanceMendapatkan pekerjaan yang bagus dan kuliah di jurusan idaman adalah impian Tia. Entah mana yang lebih dahulu, boleh-boleh saja. Tapi apa jadinya jika ia malah keburu dilamar oleh Rifky, atasannya di kantor yang terkenal dingin terutama terhadap wan...