Bab 22 - Maafkan Saya

554 77 4
                                    

Rifky memacu motor milik Dimas dengan kecepatan tinggi. Tak peduli kondisi jalan yang sedang padat, dengan lincah bergerak ke kanan dan kiri menyalip kendaraan yang menghalangi jalan. Mengikuti petunjuk arah yang diberikan Dimas melalui telepon. Ya, Dimas memilih untuk melaporkan hal ini langsung ke polisi, sementara Rifky yang pergi ke satu tempat yang diduga Dimas sebagai markas Ferdi dan teman-temannya.

Hingga tiba di suatu tempat, Rifky berbelok memasuki jalan setapak yang mulai dipenuhi rumput. Semakin lama jalanan semakin sepi. Rumah-rumah penduduk makin tak terlihat. Yang ada hanya rerumputan setinggi betis orang dewasa. Rifky menepikan kendaraan di bawah pohon yang rimbun. Kondisi sekitar sangat sepi.

Perlahan ia berjalan agar tak menimbulkan suara menuju satu-satunya rumah yang ada di depannya. Sesekali bersembunyi di balik pohon saat mendengar suatu pergerakan. Rumah itu sama sepinya dengan kondisi sekitar.

Tiba-tiba ia mendengar suara langkah mendekat, segera ia bersembunyi. Ternyata itu adalah Rendi yang melewatinya saja entah ke mana. Perlahan Rifky mendekati rumah, sesekali mengintip ke dalam melalui celah jendela. Hingga akhirnya tiba di pintu depan yang sepi, Rifky memberanikan diri untuk masuk.

Namun, tetap tak ada seorang pun yang terlihat. Ditepisnya ragu yang hinggap, setelah menemukan beberapa kamar. Besar harapannya Tia ada di salah satu kamar tersebut. Pelan dipanggilnya nama gadis yang dicarinya dari depan pintu, tapi tak ada jawaban sama sekali, kecuali di kamar yang berada di ujung. Telinganya menangkap pergerakan dari sana, segera dibukanya pintu perlahan.

Dalam keremangan, terlihat seseorang yang tengah duduk di pojok ruangan dengan tangan memeluk kaki. Sesekali terdengar isakan dari sosok tersebut. Perlahan didekatinya seraya memanggil, tapi orang yang dituju tetap tak bergeming. Kekhawatiran mulai merayap dalam benak Rifky, takut jika telah terjadi sesuatu pada gadis di depannya.

"Tia," panggilnya sekali lagi. Namun, tetap tak ada jawaban, orang di depannya tetap menunduk. Pelan disentuhnya kepala yang tertutup kerudung hingga akhirnya kepalanya terangkat disertai tawa yang sangat dikenalnya.

"Lu berharap kalau gue ini dia, kan?"

"Ferdi?"

"Iya, ini gue. Kayaknya lu nggak seneng ketemu gue lagi. Padahal gue seneng bisa ketemu lu setelah bebas dari penjara," ujar Ferdi dengan tawa yang semakin keras.

"Mana Tia? Dia nggak ada hubungannya sama urusan kita!" ujar Rifky seraya mundur beberapa langkah. Netranya cepat memindai sekitar, siapa tahu orang yang dicari berada di sisi lain ruangan. Sayang, tetap tak ditemukan.

"Oh, nggak semudah itu, Ky! Dia udah ikut campur urusan gue, jadi dia harus dapat hukuman seperti bapaknya dulu." Ferdi bangkit dan melempar kain yang tadi dipakainya untuk mengelabui Rifky.

"Berani lu sentuh dia, gue jamin lu akan mendekam di penjara kali ini!" Rifky berbalik dan mencengkeram kerah baju Ferdi. Namun, tiba-tiba saja beberapa pasang tangan menarik tangannya. Memaksanya melepaskan cengkeramannya tadi. Sia-sia ia memberontak, pegangan mereka terlalu kuat.

"Tujuan lu ngelakuin begini, biar gue datang ke sini, kan? Sekarang gue udah datang, jadi lu bisa lepasin dia sekarang!" Rifky mulai panik melihat Ferdi yang melangkah ke luar ruangan. "Ferdi! Lu boleh lakuin apa aja ke gue, tapi tolong lepasin Tia!" lanjut Rifky.

"Oke, kalau itu mau lu. Bawa perempuan itu ke sini!" perintah Ferdi pada Rendi yang baru masuk. Rendi menatap Rifky tajam, sebelum akhirnya keluar lagi.

Tak lama kemudian Rendi kembali dengan membawa Tia. Hati Rifky terasa sakit melihat kondisi gadis tersebut. Kerudung yang dikenakan sudah kusut dan sangat berantakan. Bahkan lengan bajunya sudah sobek hingga memperlihatkan sebagian lengannya. Celana yang dipakai pun kotor tak lagi berwarna.

[TERBIT] Secret Admirer Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang