Bab 13 - Ujian yang Menerpa

501 72 18
                                    

"Begini, Tia, saya baru saja mendengar kabar yang tidak menyenangkan tentang kamu dan Pak Rifky," ujar Pak Indra seraya menatap Tia lekat. Sementara yang ditatap lebih memilih menunggu, hingga Pak Indra selesai mengucapkan semuanya.

"Saya baru saja melihat laporan payroll yang kamu selesaikan kemarin. Jumlah angka akhirnya berbeda dengan data yang ada di saya. Sementara angka yang ada di cek yang kamu cairkan kemarin, sama dengan laporan terakhir kamu. Kamu tahu kenapa bisa selisih?"

"Maaf, saya nggak paham maksud Bapak."

Pak Indra lalu mengeluarkan beberapa lembar kertas lalu ditunjukkannya pada Tia. "Begini, angka di laporan terakhir yang kamu serahkan ke saya jumlahnya sekian. Tapi ... di laporan yang ditandatangani Pak Rifky malah sekian. Kelihatan, kan, ada selisih angka di sini," jelas Pak Indra sembari menunjuk angka-angka yang dimaksud

Tia mengamati baik-baik, memang benar ada perbedaan angka yang mencolok di sana. Sampai puluhan juta. Hati Tia serasa mencelos menatap angka-angka tersebut. Duduknya mulai tak tenang. Jantung pun terasa berdegup kencang. Otaknya sibuk mencerna bagaimana semua ini bisa terjadi.

"Iya, Pak. Kok ada selisih, ya."

"Itu yang saya maksud. Kamu tahu kenapa?"

"Ngga tahu, Pak." Tia menggeleng pelan.

"Kalau tidak salah, kamu yang kemarin ke Bank untuk mencairkan cek, kan? Sama Pak Rifky?" tanya Pak Indra penuh selidik.

"I-iya, Pak. Pak Rifky yang minta saya untuk ke Bank. Itu juga bareng Pak Rifky, Pak." Debaran di hati Tia semakin kencang. Entah akan ke mana masalah ini. Pak Indra mengangguk pelan mendengar jawaban Tia.

"Lalu?"

"Sisa uang cash-nya dibawa Pak Rifky ke ruangan untuk dihitung, baru setelah itu diserahkan ke saya untuk dibagikan."

"Artinya uang itu mampir ke ruangan Pak Rifky dulu? Kamu nggak ikut ke ruangannya?"

"Ng-nggak, Pak. Saya lagi ke pantry," jawab Tia pasrah.

"Berarti Pak Rifky kunci masalah ini. Walaupun kamu mungkin masih akan ditanyai nantinya. Mengingat kedekatan kalian sekarang."

"Ma-maksud, Bapak?"

"Bukannya terlihat jelas dari foto-foto yang beredar?"

Tia semakin bingung dengan semua ini. "Foto apa, Pak?"

"Kamu belum tahu? Coba tanya Mirna, dia pasti tahu. Saya keluar dulu, ya." Pak Indra pun berlalu. Tinggal Tia yang masih termangu di tempat. Tak mengerti kenapa semua tiba-tiba menjadi rumit begini.

"Mir, lu tahu soal foto-foto gue sama Pak Rifky?" cecar Tia sekembali dari ruang meeting.

Mirna yang terkejut, ragu-ragu menjawab, "Iya, Neng."

"Kok lu nggak bilang ke gue sih? Mana sini gue lihat!" Tia menarik kursi ke sebelah Mirna. Dan duduk di sana.

Mirna segera membuka ponselnya yang segera direbut Tia. Ia melihat banyak foto dirinya juga Pak Rifky. Seperti saat di pernikahan Mbak Desi, di rest area, di kantor dan terakhir adalah kemarin malam, saat ia diganggu pemabuk di jalan.

Tangan Tia bergetar kala melihat semua itu. Entah siapa dan bagaimana caranya foto-foto itu bisa diambil dan kini tersebar ke seantero pabrik. Pantas saja, bisik-bisik di belakang kian santer saat ini, ternyata ini pemicunya.

"Kenapa jadi begini sih, Mir? Barusan Pak Indra juga ngasih tahu soal gaji kemarin yang bermasalah," keluh Tia dengan suara memelas.

Selama bekerja, baru saat inilah muncul hal-hal yang seperti ini. Padahal ia hanya ingin bekerja dan mengumpulkan uang agar bisa melanjutkan pendidikan. Dan demi melihat mendung di wajah sahabatnya, Mirna segera memeluknya. Memberi ruang pada Tia untuk menangis

[TERBIT] Secret Admirer Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang