Bab 18 - Dugaan-dugaan

491 68 10
                                    

Malam sudah jauh melewati tengahnya. Suasana pun sudah sangat hening. Tak ada lagi suara orang bercakap-cakap ataupun kendaraan yang berlalu-lalang. Hanya detak jam saja yang masih terdengar jelas, seolah menemani Tia yang masih belum bisa memejamkan mata.

Sudah tak terhitung berapa banyak air mata yang keluar sejak ia lari dari Rendi beberapa jam lalu. Tak ingat pula jam berapa tiba di rumah, yang jelas Mama langsung menyambut dengan wajah cemas yang sangat. Berkali-kali bertanya pada puteri satu-satunya tersebut, kenapa sangat terlambat pulang. Bahkan Mama sudah mendesak Papa yang baru pulang untuk mengantarkan ke kantor polisi, melaporkan berita orang hilang.

Namun, saat sedang bersiap ke kantor polisi itulah tiba-tiba Tia muncul dengan wajah linglung. Tak begitu merespon pertanyaan Mama, malah terdiam cukup lama di kursi depan TV. Membuat Mama sangat bingung, dan sempat terpikir untuk memanggil Ustadz. Dan di sinilah Tia kini, berbaring di ranjang dengan netra yang masih setia mengalirkan titik-titik bening.

Masih terbayang jelas semua yang terjadi beberapa jam lalu, begitu pula dengan semua ucapan Rendi. Seolah terputar otomatis di tiap detiknya. Membuat kepalanya terasa sakit memikirkan semuanya seorang diri. Hingga tiba-tiba ia teringat foto yang ditemukannya di ruangan Rifky. Segera diambilnya dan diamati lamat-lamat, foto dirinya saat tengah menunggui Papa yang sedang terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit akibat kecelakaan beberapa tahun lalu.

Perlahan ingatannya kembali pada suatu hari saat ia tiba-tiba saja didatangi ibu wali kelas saat guru pelajaran Ekonomi sedang menerangkan di depan kelas. Lalu membawanya ke ruang guru di mana guru BK dan wakil kepala sekolah juga sedang berada di sana.

"Tia, baru saja ibumu telepon, ayahmu mengalami kecelakaan. Mobilnya menabrak tiang listrik di pinggir jalan. Sekarang sudah berada di rumah sakit. Sebaiknya kamu segera menyusul ke sana."

"Papa saya kecelakaan, Bu?" Bagai disambar petir Tia mendengarnya.

"Iya. Sekarang juga kamu ke rumah sakit diantar Pak Imran, ya." Ibu Wiwi menunjuk Pak Imran penjaga sekolah yang memang sering diminta mengantar guru jika ada keperluan di luar sekolah.

"Baik, Bu." Tia segera kembali ke kelas untuk mengambil tas. Meskipun sebenarnya sayang, karena pelajaran ekonomi tadi adalah pelajaran terakhir sebelum bel pulang berbunyi. Namun, Papa jauh lebih penting, bahkan jika dibanding ujian yang akan berlangsung pekan depan.

Tia langsung berlari menyusuri lorong rumah sakit, setelah mengucapkan terima kasih pada Pak Imran. Mencari ruangan tempat Papanya sedang ditangani oleh para dokter ahli. Terbayang dalam benaknya wajah Papa yang teduh, membuatnya harus berjuang menahan air mata yang siap tumpah. Cemas memikirkan keselamatan lelaki cinta pertamanya.

"Tia!" panggil Mama.

Segera ia menghambur ke pelukan Mama. Air mata yang sejak tadi ditahan, akhirnya tumpah juga membanjiri wajah bersihnya.

"Papa gimana, Ma?" ucap Tia di sela tangisnya.

"Papa masih diperiksa dokter." Mama mengusap lengan puterinya, berusaha menyalurkan kekuatan. Begitu pula dengan Tian, sang adik yang kini ikut memeluk dari belakang.

Tak lama dokter akhirnya keluar dari ruang tindakan. Lelah tergambar jelas di wajahnya. Lantas menghampiri ibu dan anak yang di saat bersamaan juga bergegas ke arahnya. Agaknya sudah bisa pertanyaan pertama yang akan diajukan oleh keluarga pasien.

"Gimana suami saya, Dok?"

"Masa kritisnya sudah lewat. Kondisinya juga sudah stabil. Beruntung tidak ada luka serius di kepala. Hanya kaki saja yang terjepit badan mobil. Kemungkinan suami Ibu tidak bisa berjalan untuk sementara waktu. Karena ada sedikit keretakan pada tulang kakinya." Dokter menjelaskan panjang lebar.

[TERBIT] Secret Admirer Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang