Bab 5 - Islamic Book Fair

637 78 4
                                    

Pagi ini mentari bersinar dengan ceria. Setidaknya begitulah yang Tia rasakan. Terlebih hari ini adalah akhir pekan, di mana ia terbebas dari kewajiban rutin ke kantor. Jadi, bisa dipastikan jika akhir pekan tiba, maka Tia akan bangun lebih lambat, bahkan selepas sholat subuh biasanya ia akan kembali merebahkan diri di kasur.

Tapi ada yang berbeda, tak biasanya sepagi ini ia sudah berpakaian rapi. Meski hanya mengenakan gamis santai bermotif bunga-bunga kecil dan pashmina instan warna pastel.

"Tumben nih udah rapi, mau ke mana, hmm?" tanya Mama yang berada di meja makan saat melihat anak gadisnya mendekat.

"Tia janjian sama temen-temen mau ke Islamic Book Fair, Ma," jawab Tia yang langsung mendudukkan diri di depan Papa. Cekatan ia mengambil roti tawar dan mengoleskannya dengan selai.

"Bukannya jauh, ya, di Senayan? Kamu pergi sama siapa, naik apa?" gantian Papa yang bertanya.

"Janjian sama Mirna juga temen yang lain, Pa. Paling naik bus terus nyambung busway aja," jawab Tia seraya mulai menikmati sarapannya. Mama menyodorkan gelas berisi teh hangat yang langsung disambutnya dengan ucapan terima kasih.

"Tapi ramai loh hari Sabtu begini, masih terhitung hari kerja soalnya. Jangan kesorean aja pulangnya, ya. Kalau nggak kebagian busway, kabarin, siapa tahu papa bisa jemput. Hati-hati di jalan, ya." Papa yang sudah selesai sarapan pun beranjak ke pintu depan ditemani Mama. Tia masih sempat mencium tangan saat Papa melewatinya, sebelum meneruskan sarapan.

Mama kembali ke meja makan, membereskan piring bekas suaminya, kemudian membawanya ke bak cuci. "Kamu hati-hati, loh, di jalan. Jangan mau diajak orang yang nggak kamu kenal."

Tia tersenyum mendengar nasihat Mama, "Mama, ih, Tia kan udah gede, masa mau diajak orang yang nggak dikenal. Emangnya anak kecil, haha.”

"Eh, sekarang tuh lagi musim penculikan, loh. Kalo kamu dihipnotis terus diculik gimana?” tanya Mama yang baru kembali dari belakang.

Tia tak bisa menahan tawa lagi, tapi ia sadar yang diucapkan Mama benar. Terlebih Mama menasihati karena sayang, bukan?

"Iya, Mama, Sayaannggg. Tia berangkat dulu, ya, nanti kesiangan. Ada nasyid kesukaan Tia nih soalnya." Tia pun bangkit dan beranjak ke belakang untuk mencuci tangan, kemudian mencium tangan mama dan berjalan keluar rumah.

Tia janjian bertemu teman-temannya di halte busway. Dan seperti biasa, ia lah yang hampir selalu tiba terlebih dahulu. Tia sudah tak heran lagi dengan kebiasaan telat ketiga temannya. Ia pun segera mengambil ponsel dan mengirim pesan WhatsApp pada teman-temannya.

[Gaes, aku udah sampe nih. Cepetan, ya, udah mulai rame di sini, entar antriannya makin panjang]

Tak ada balasan. Tapi Tia yakin teman-temannya sudah berada di jalan. Ia pun menyibukkan diri dengan membuka akun sosial media Facebook-nya. Membaca status-status yang muncul di laman linimasanya.

Sepuluh menit kemudian, temannya mulai berdatangan. Dewi dan Hani datang hampir bersamaan. Hingga akhirnya Mirna yang muncul paling terakhir. "Maaf, ya, Gaes, adek gue tadi ribut mau ikut, jadinya gue ngajak dia ke minimarket dulu deh biar mau ditinggal."

"Ya, udah, yuk, jalan," ajak Tia.

Mereka berempat lalu berjalan menuju loket, ikut mengantri bersama yang lain. Sementara antrian di belakang mereka mulai memanjang. Satu per satu bus datang dan pergi setelah menaikkan penumpang.

Setelah bus kelima datang, barulah Tia dan teman-temannya naik. Bus yang masih kosong, membuat jadi mereka leluasa memilih tempat duduk. Karena  halte tempat mereka naik memang rute pertama pemberangkatan.

Beruntung busway memiliki jalur sendiri, jadi tetap bisa melaju sekalipun jalan raya utama sedang macet. Walaupun banyak juga kendaraan yang akhirnya ikut melewati jalur busway, hingga sedikit menghambat perjalanan. Hingga mereka tiba empat puluh lima menit kemudian, dan berjalan memasuki gedung Istora Senayan sambil mengobrol santai.

Hari masih pagi saat mereka tiba, tapi kondisi di dalam gedung ternyata sudah sangat ramai. "Kita berangkat pagi aja udah ramai begini, ya. Gimana kalau berangkatnya siang," komentar Tia di sela-sela antrean masuk.

Meskipun masih terbilang pagi ternyata hampir semua booth sudah buka, bahkan sudah ramai diserbu pengunjung. Terlebih booth yang menawarkan diskon, pasti lebih ramai lagi. Puas keluar masuk booth dengan bawaan yang semakin banyak, mereka pun menuju ke tengah ruangan, tempat panggung utama berada.

Ternyata di sana sedang berlangsung acara bedah buku dari seorang penulis Mega Best Seller. Tia dan teman-temannya lanjut naik ke tribun dan memilih kursi agak ke atas, agar leluasa saat melihat ke bawah. Mereka lalu membagi tugas untuk membeli makanan dan minuman. Tia-lah yang mendapat tugas menjaga barang bawaan mereka, sementara teman-temannya pergi membeli makanan.

"Jagain barang kita, ya, Neng. Ribet soalnya kalau musti dibawa-bawa. Lihat sendiri tadi food court-nya udah kayak pasar aja. Lu jadinya mie ayam aja, kan?" tanya Mirna sebelum meninggalkan Tia.

"Iya, mie ayam aja. Kalian cepat balik ke sini lagi, ya," sahut Tia yang kemudian mulai asyik mengambil gambar dengan ponselnya.

"Tia, ngapain di sini?"

Sedikit terkejut, Tia pun menoleh ke arah sumber suara. Tak menyangka akan ada yang menyapanya di tengah keramaian begini.

"Pak Rifky?" ucapnya setengah tak percaya.

"Kamu sendirian?" Pandangan Pak Rifky beralih pada kantong belanjaan yang banyak yang tergeletak di dekat kaki Tia.

"Ehh, ngga, Pak. Saya sama teman-teman tadi."

Pak Rifky menganggukkan kepala dan duduk di kursi paling ujung. Berjarak tiga kursi dari tempat Tia duduk. Meletakkan beberapa kantong di dekat kakinya. Lantas mengedarkan pandangan ke sekitar yang semakin ramai. Tia memperhatikan semua itu diam-diam dari sudut mata.

"Pak Rifky sama siapa ke sini? Eh, maaf, saya cuma tanya aja, Pak?" Tia segera menutup mulutnya, merasa tersadar jika yang baru saja dilakukan tidaklah sopan.

Tapi yang ditanya malah tertawa renyah, "iya, sendirian. Adik saya minta dicarikan buku lagi, katanya anak-anak yang pinjam buku banyak yang nggak ngembaliin. Jadi buku koleksi taman bacaan makin berkurang."

Tanpa sadar Tia ikut tertawa mendengar jawaban tersebut. Lantas mengamati diam-diam penampilan lelaki yang terlihat berbeda dengan setelan kasual yang dikenakannya, terdiri dari kaus sport, celana jeans, serta sepatu kets.

"Teman-teman kamu ke mana?" Pak Rifky tiba-tiba menoleh dan memergoki Tia yang sedang memperhatikan penampilannya. "Kenapa? Ada yang salah?"

Yang ditanya segera memalingkan wajah ke arah lain dengan wajah memerah. Malu perbuatannya dipergoki seperti maling begini. "Eh, nggak, Pak. Bukan begitu."

Tanpa diduga Pak Rifky malah tertawa renyah. Sungguh hal yang tak biasa. Bahkan bisa dibilang hampir tak pernah selama Tia bekerja di Perusahaan tersebut.

"Eh, ada Pak Rifky." Mirna bersama teman yang lain akhirnya tiba dengan beberapa kantong berisi makanan.

"Eh, kamu, Mir. Kirain siapa." Pak Rifky yang tak kalah terkejut segera berdiri, memberi jalan pada Mirna dan teman-temannya.

"Mari makan, Pak. Lapar habis keliling Istora," ujar Mirna menawarkan sesaat setelah membuka kantong-kantong dan membagikan sesuai pesanan.

"Ya, silakan. Oh ya, kamu naik apa ke sini, Mir?"

"Naik busway, Pak, bareng Tia, Dewi sama Hani," jawab Mirna sambil mulai menyuap makanan. Tia dan yang lain malah sudah asyik menikmati makanan, sambil ikut mendengarkan percakapan yang terjadi.

"Nanti pulangnya bareng saya aja, ya. Kebetulan saya bawa mobil," tawar Pak Rifky sambil mengeluarkan ponsel dan mulai mengusap layar datar di tangannya.

"Eh, nggak usah, Pak. Nanti merepotkan." Cepat Tia menjawab, merasa tak enak harus merepotkan orang lain. Terlebih mereka masih ingin berkeliling setelah ini.

"Merepotkan apa? Kita, kan, sama-sama ke arah Tangerang." Pak Rifky mengangkat wajahnya dari layar ponsel dan menoleh ke arah Tia. Tatapan mereka bertemu untuk beberapa saat, sebelum akhirnya Tia memilih menunduk kembali.

"Boleh, boleh, Pak." Kali ini Mirna yang menjawab, tapi kakinya langsung diinjak oleh Tia. "Aaawww!"

To be continued...

[TERBIT] Secret Admirer Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang