"Nggak apa-apa, Nak Rifky, kan udah anterin Tia. Lagian juga masih hujan di luar. Ibu baru selesai bikin kue bolu, kayaknya enak deh dimakan sambil minum teh hangat." Mama masih berusaha membujuk.
Setelah berpikir sejenak, Rifky akhirnya tersenyum dan menyanggupi tawaran tersebut. Segera ia melipat payung dan membuka sepatu, kemudian meletakkan keduanya pada rak yang ada di dekat situ. Lalu masuk mengikuti mama sambil berucap salam. Wajah duanya tampak cerah, berbeda dengan Tia yang membeku demi melihat kejadian tersebut. Tak menyangka jika kelanjutannya akan seperti ini.
"Tia ngapain kamu diem aja di situ, temenin Nak Rifky dulu sini, mama mau buat teh," tegur Mama menyadarkan putrinya yang masih terpaku di tempatnya.
Tia akhirnya ikut masuk dengan langkah gontai. Lantas menduduki kursi di sisi kanan Rifky. Mukanya masih datar tanpa ekspresi, tak ada kata terucap hanya netranya sesekali melirik tamu yang sukses membuatnya terkejut.
Sementara Rifky malah asyik menikmati rumah mereka. Sama sekali tak menyadari perubahan wajah Tia. Netranya asyik mengamati rumah sederhana bercat hijau tosca ini. Lamat-lamat diamatinya satu per satu hiasan yang terpasang di dinding, seperti kaligrafi dan foto keluarga yang dalam formasi lengkap dengan adik lelaki Tia. Di beberapa tempat diletakkan bunga-bunga plastik berwarna-warni yang membuat suasana semakin asri.
Di atas rak televisi terdapat beberapa piala yang tertata rapi di pojok ruangan. Di seberangnya ada tangga kayu yang menyatu dengan dinding, tepatnya di samping pintu kamar mandi. Terakhir, diamatinya kursi jati model lama yang sedang diduduki ini lengkap dengan mejanya yang kokoh.
"Rumah kamu nyaman juga, ya," ucap Pak Rifky sambil tersenyum. "Penghuninya juga ramah."
Bagai baru tersadar, Tia hanya bisa tersenyum kaku. "Makasih, Pak."
"Kenapa tegang gitu, sih? Ini, kan, bukan kantor, rileks dikit bisa dong." Tawa Rifky terdengar demi melihat wajah Tia yang seumpama kanebo kering.
"Oh ya, adik kamu ke mana? Kayaknya nggak keliatan," sambung Rifky lagi.
"Adik saya di pondok pesantren, Pak. Di daerah Jawa Timur," jawab Tia. Rifky menanggapi dengan menganggukkan kepala dan melanjutkan pengamatannya lagi.
"Emm ... saya tinggal ke kamar sebentar boleh ya, Pak?" pamit Tia dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
Rifky menoleh dan menatap Tia sejenak, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya kembali. "Silakan, ini rumahmu, kan."
Tia beranjak menuju lantai dua dengan perasaan tak enak hati. Namun, ia pun tak bisa terus-terusan berada di sana, ia masih merasa segan harus seruangan dengan Rifky. Jadi, mungkin lebih baik ia menghilang sejenak di kamar, tempat paling nyaman untuknya.
Tia memasuki kamar dan bersandar di balik pintu. Serasa tak percaya Rifky menjadi orang yang super ramah hari ini. Padahal selama ini ia terkenal dingin, tegas dan kaku. Bahkan memperlakukan dirinya dengan lembut. Tak dipungkiri hatinya kini dipenuhi keharuan.
"Tapi, mungkin aja dia emang baik sama semua orang, bukan cuma sama kamu," batin Tia mengingatkan.
"Udah deh, Tia, jangan mikir yang aneh-aneh," lanjut kata hatinya.
Jika tak mengingat masih ada tamu di bawah, ingin rasanya Tia merebahkan diri setelah seharian di luar rumah. Sayangnya, ia tak bisa berbuat demikian, maka dengan gontai Tia beranjak menuju lemari putihnya. Mengganti gamis yang dipakai dengan setelan pakaian tidur, kemudian keluar kamar lagi.
Dari anak tangga, Tia melihat sang mama sudah menemani Rifky. Lengkap dengan teh dan kue bolu yang dijanjikan. Tanpa sadar Tia tersenyum mengingat kelakuan mamanya tadi, lalu duduk di kursi sebelah mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TERBIT] Secret Admirer
RomanceMendapatkan pekerjaan yang bagus dan kuliah di jurusan idaman adalah impian Tia. Entah mana yang lebih dahulu, boleh-boleh saja. Tapi apa jadinya jika ia malah keburu dilamar oleh Rifky, atasannya di kantor yang terkenal dingin terutama terhadap wan...