Carbon

41 16 20
                                    

C

"People like a carbon. Some people strong like diamond and another brittle like graphite..."

.
.
.
❀❀❀❀❀❀
.
.
.


Suara adzan terdengar begitu jelas di telinga Kana sekarang. Perlahan, matanya terbuka meskipun tidak sempurna. Masjid yang dekat dengan rumah kakeknya itu memang terkadang berhasil membangunkannya lebih cepat dibandingkan dengan alarm ponselnya. Perlahan, ia menegakkan posisi duduknya. Ah! Ternyata memang benar ia tertidur di meja belajarnya. Bahkan ia lupa untuk mematikan laptopnya yang masih menyala itu. Meskipun kini layar laptop itu telah menghitam.

Ia pun bangkit meskipun beberapa kali ia harus menutup mulutnya karena menguap. Suasana rumah itu masih sepi. Tapi yang ia tahu, kakeknya sudah pergi ke masjid. Dinginnya udara kini menusuk kulit Kana meskipun ia sama sekali menyentuh air di bak kamar mandinya.

Dengan cepat ia kembali ke kamarnya dan melaksanakan shalat. Begitu selesai, ia merebahkan tubuhnya di atas sajadah seraya menatap ke langit-langit kamarnya. Tidak ada apa-apa di sana. Hanya ada beberapa tempelan berbentuk bintang yang dapat bersinar dalam gelap. Hanya saja, kamarnya kini tidaklah gelap. Ia terus menatap kosong ke sana. Dan tanpa ia sadari, matanya kini kembali terpejam.

*********

"Gue kira lo dah sampe di kampus, Na -" ucap Alka pada gadis yang baru saja duduk di bangku tepat di belakangnya. "- Lo kenapa enggak angkat telepon gue?"

"Enggak dengar."

Jawaban itu benar-benar singkat, padat, dan jelas bagi semua yang mendengarnya. Namun, yang terpenting sekarang adalah, semua temannya itu menatap Kana dengan tatapan yang saling bertanya. Dan Kana tahu dengan jelas hal itu.

"Muka lo kusut amat, Na? Tidur jam berapa semalem, lo?" tanya Rindia.

"Jam 3. Kalau enggak salah."

"Bangun?"

"Jam setengah 5? Tapi gue sempet tidur lagi sih sebentar."

"Lo ngapain sih begadang begitu?" tanya Akbar.

"Kalau gue enggak lupa hari ini ada praktikum, gue juga enggak bakalan begadang ngerjain laprak! Mata gue juga capek kali mantengin layar laptop terus dari kemarin. Mindahin foto, ngedit video buat nanti pelantikan, nyusun data unit. Belum lagi laprak."

"Lo lagi, siapa suruh ngambil banyak kepanitiaan?" sarkas Diki.

"Dah lah! Enggak usah ngomongin itu! Yang ada kepala gue makin pusing tau, enggak?"

Ya, harus diakui, selain karena sakit, kurang tidur juga membuat emosi seseorang tidak stabil. Terutama, Kana. Dan kini baik Rindia maupun Windy hanya bisa menggelengkan kepala mereka melihat tingkah sahabat mereka yang satu itu. Meskipun begitu, Windy merasa kalau Kana masih ingin meluapkan emosinya. Tapi dengan cara lain.

"Selamat pagi, semuanya!" ucap sang dosen yang baru saja tiba di kelas itu. Seketika, suasana kelas langsung berubah. Suara kertas yang saling beradu mulai menggema di ruangan kelas itu. Empat jam, dua mata kuliah. Suatu cobaan yang berat untuk Kana sekarang.

Dua jam sudah berlalu dan mata kuliah sudah berganti. Setelah mata kuliah sebelumnya ia benar-benar tidak bisa teralihkan dari kelas karena peraturan kelas yang wajib mencatat, kini dirinya benar-benar tidak sanggup lagi. Matanya sangat sakit sekarang. Rasanya seperti bola matanya akan keluar jika ia terus memaksakan matanya untuk tetap terbuka. Bahkan tidak jarang pula kepalanya sudah naik turun dengan posisi yang tidak nyaman. Baiklah! Kepalanya terasa sangat pusing sekarang.

HITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang