Potassium

8 0 0
                                    

"Jadi, sebelum diintegrasikan, kalian harus ubah dulu ke integral polar. Tentukan dulu batasnya, tapi jangan lupa disesuaikan dengan posisi dx dy-nya kalau beda dengan batasnya, hasilnya akan salah."

Sekiranya itulah penjelasan dari dosen yang kini sedang mengajar di depan kelas. Bahkan wanita paruh baya tersebut kini mulai menunjukkan deretan rumus yang membuktikan perkataannya. Sebuah grafik lengkung tiba-tiba berubah menjadi sebuah grafik lurus dengan angka dan simbol yang sedikit berbeda dari sebelumnya. Hanya saja, pikiran Kana tidak sepenuhnya di sana.

Ia masih memandang sendu kertas ujian tengah semester yang baru saja dibagikan sebelum kelas dimulai. Sudah lewat setengah periode dari total waktu semester pendek, tetapi ia masih belum menemukan kemajuan. Dirinya tetap saja berjalan di tempat. 22/45. Seingatnya ia sudah belajar dengan keras untuk ujian itu. Namun, usahanya kembali berkhianat.

Rasa sesak kembali memenuhi dada Kana. Jika saja di ruangan itu hanya ada dirinya sendiri, sudah pasti kini ia sudah menangis. Tentu saja ia tidak bisa menangis di kelas, atau lebih tepatnya tidak bisa menangis di depan orang lain. Ia masih takut dengan kemungkinan yang ada bahwa ia menangis hanya karena hal yang mungkin sepele bagi sebagian orang.

"Baiklah, pertemuan hari ini sudah selesai. Sampai jumpa di hari Jum'at," tutup sang dosen yang kemudian melangkah pergi dari ruangan itu.

Semua penghuni ruangan itu perlahan pergi entah kemana. Kana sendiri langsung berjalan ke sisi yang cukup sepi dari kampusnya setelah berpamitan pada teman-teman angkatannya yang juga mengikuti kelas itu. Dan seperti biasanya saat waktu liburan, kampus sepi. Hanya ada mahasiswa yang mulai mengejar target sidang kelulusan ataupun yang harus bekerja di laboratorium untuk penelitiannya.

Wilayah pojok tenggara kampusnya kini sepi. Kana duduk di salah satu bangku yang ada di sana seraya kembali melihat kertas jawaban ujiannya. Tangannya gemetar dan dingin. Ada ketakutan yang menyelimuti Kana kini. Bahkan air matanya kini tidak bisa ia tahan untuk tetap ada di asalnya. Ia menangis sendirian meratapi dirinya yang seperti itu. Menyedihkan.

"Kana? –"

Suara khas seorang pemuda memanggil namanya. Kana tahu dengan benar siapa pemilik suara itu. Tangannya spontan langsung menghapus jejak air mata yang ada di pipinya sebelum akhirnya ia menoleh pada seseorang yang memanggilnya itu. Kana bisa melihat ada raut khawatir di wajah yang ia tatap kini. Bahkan pemuda itu langsung menghampiri dan berjongkok untuk menyamakan posisinya dengan Kana.

" – Lo kenapa nangis, Na?"

"Apa sih?! Gue enggak nangis, Al," sanggah Kana.

"Na, kita kenal bukan baru kemarin lho. Gue tau lo bohong."

Kana tidak bisa mengelak lagi. Alka benar-benar tahu dirinya. Terlebih setelah pertengkaran mereka kemarin, Alka semakin mengerti tentang sikap Kana jika sedang berada di posisi yang jatuh. Kana yang menyimpan masalahnya sendiri hingga frustasi dengan keadaannya. Alka sudah mengerti semua tentang hal itu.

Kertas yang sedari tadi dipegang oleh Kana pun diambil secara pelan oleh Alka tanpa ada perlawanan dari sang pemilik. Mata Alka menatap dengan lekat kertas yang di beberapa sisinya basah oleh air mata. Angka yang tertera pada salah satu kotak di lembar pertama menjadi perhatiannya. Kini, ia tahu apa yang menjadi pikiran Kana saat ini.

Pandanganya teralihkan pada wajah sahabatnya yang kini masih menahan tangisnya tanpa menatapnya. Isakan itu masih terdengar. Bahkan tangan yang kini Alka pegang pun sangat dingin dan gemetar. Perlahan, air mata itu kembali muncul tanpa Alka minta.

"Padahal materi sebelum UTS itu materi yang lumayan gampang dibandingkan materi integral lipat buat UAS nanti. Tapi tetep aja gue enggak bisa dapat nilai yang bagus. Nilai UTS gue masih dibawah batas kelulusan. Gimana nanti pas UAS yang materinya sampe sekarang masih belum bisa gue kuasai, Al?"

HITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang