Silicone

18 9 6
                                    

Si

"... because all those memories are just important as silicone oxide..."

.
.
.
❀❀❀❀❀❀❀
.
.
.

Tidak ada yang Kana lakukan sekarang selain menonton televisi di ruang tengah rumahnya. Bukan rumah aslinya, melainkan rumah milik kerabatnya yang kelurganya sewa. Bahkan di tempat sebelumnya pun juga sama. Ya, seperti itulah kehidupan Kana sejak kecil.

Suara mesin motor yang terhenti di depan rumah menarik perhatiannya. Ia kenal benar motor siapa itu karena sesaat kemudian, pintu pagarnya pun terbuka. Kana bangkit dan melangkahkan kakinya ke teras rumah, menyambut pria usia yang akan memasuki usia enam puluhan yang baru saja pulang. Namun, dari semuanya, mata Kana terpaku pada sebuah plastik merah yang tergantung pada bagian depan motor.

“Assalamu’alaikum!” sapa sang ayah.

“Wa’alaikumussalam. Ayah beli lauk? Kana udah masak padahal. Ya, masak ‘gitu’an doang tapi.”

“Yaudah, enggak apa-apa. Buat tambahan lauk. Kana udah makan?”

Kana menggeleng pelan sebagai jawaban. Ayahnya langsung berjalan menuju ke arahnya begitu selesai dengan motornya di teras rumah. Rambut Kana yang terbilang tipis itu diacak pelan oleh sang ayah sebelum akhirnya mereka berdua masuk ke dalam rumah.

********

Ruang kamar Kana yang sekarang lebih lega dari yang sebelumnya. Terlebih ada jendela yang mengarah ke taman kecil di rumahnya. Ia baru saja selesai makan bersama sang ayah begitu ia memasuki ruangan berdominasi warna netral itu.

Suara pesan masuk dari ponselnya bergema di kamarnya yang sepi. Dengan sedikit penasaran, ia menyalakan layar ponselnya yang ia letakkan di atas meja belajar. Satu pesan dari Karin. Ia kenal Karin. Tidak biasanya sepupunya itu menghubunginya di saat seperti ini. Sepertinya ada hal yang penting hingga Karin menghubunginya. Namun, sayangnya itu bukanlah hal penting yang Kana maksud.

From : Karina

Dek, lo beneran lagi marahan sama Kak Alka? Dia tadi dateng ke rumah. Lo enggak bilang ke dia kalau lo pindah ke Jogja?

Tentu saja Kana tidak membuka pesan itu. Ia hanya melihat pesan itu dari tampilan pop-up di layarnya. Dan setelahnya, ia pun menutup tampilan itu begitu saja. Ia masih tidak ingin berurusan dengan segala hal yang berkaitan dengan Alka. Ia tahu Alka tidak salah akan dirinya yang seperti ini. Namun, tetap saja Kana tidak siap untuk kembali terluka dengan segala hal berbau ekspektasi. Terkadang Kana bingung mengapa ia harus seperti ini.

Suara pesan masuk kembali bergema. Namun, kali ini bukan hanya sekali. Jika sudah seperti itu, Kana tahu bahwa itu bukanlah pesan pribadi, melainkan pesan grup. Kana kembali menyalakan layar ponselnya yang menampilkan layar pop-up yang sama. Pesan-pesan yang ia lihat kini menarik perhatiannya dan membuat tangannya menekan pesan tersebut. Grup tiga angkatan program studinya.

Fitrayana Kalingga

Punten, ada info penting. Untuk teman-teman ataupun kakak-kakak yang berniat mengambil kelas matkim saat semester pendek bisa isi form di bawah ini ya… jika memang banyak, akan coba diajukan ke TU Prodi Matematika untuk dibukakan saat SP.

Kana sedikit terkejut dengan hal itu. Semester pendek, Kana tahu bahwa prodinya tidak pernah membuka kelas di semester itu kecuali kasus khusus. Dan untuk mata kuliah itupun seingat Kana tidak pernah dibuka kembali selama beberapa tahun ini meskipun beberapa kali ada pendataan mahasiswa untuk pengajuan.

Ragu. Kana takut bahwa hasilnya akan tetap sama. Namun, ini satu-satunya kesempatan baginya untuk tidak mengambil kelas itu di semester biasa. Meskipun artinya ia harus bersedia kehilangan masa liburan panjangnya. Ia pun menekan tautan yang ada di bawah pesan itu dan mulai mengisi semua data yang ada. Urusan apakah kelas itu akan dibuka atau tidak, itu urusan nanti.

*************

“Ayah! –“ panggil Kana. Pria paruh baya yang sedang membuat sebuah meja kecil  itu menoleh dan menangkap bayangan anak gadisnya yang sudah berpenampilan cukup rapi meskipun biasa. “ – Aku mau ke minimarket dulu, ya?”

“Mau ayah anter?”

“Enggak usah! Aku naik sepeda aja.”

Kana mengeluarkan sepedanya dari dalam rumah. Ia pun pamit pada sang ayah dan mulai mengayuh pedal hingga membuat roda sepedanya membelah jalan rumahnya. Jalanan sebuah perumahan yang sedikit mirip dengan daerah pedesaan yang cukup luas. Daerah khas pinggiran kota.

Jarak rumahnya dengan minimarket terdekat sekarang cukup jauh, berbeda dengan rumah sebelumnya yang hanya berjarak paling lama sepuluh menit dengan jalan kaki. Namun, itu membuat Kana yang cukup senang menjelajahi jalan menikmati kesenangannya itu. Terlebih, langit yang kini perlahan mulai menampakkan warna lembayungnya.

Sebuah minimarket yang Kana tahu milik orang sekitar menjadi tujuannya. Itu berbeda dengan minimarket yang ada banyak di kota lain, minimarket dengan dominasi warna biru atau merah. Meskipun begitu, Kana bisa menemukan apapun yang tidak biasa ia temui sebelumnya. Dan begitu ia mendapatkan apa yang ia inginkan, ia pun mulai berjalan ke tempat kasir.

Minimarket adalah satu-satunya tempat yang Kana berani jelajahi sendiri. Bukan karena kejahatan atau apa, ia hanya takut tidak bisa berkomunikasi dengan baik dengan orang-orang yang kebanyakan masih menggunakan bahasa Jawa di sini. Jujur saja, meskipun Kana memiliki darah Jawa dari sang ayah, Kana sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa. Mendengarkan, ia masih bisa, tetapi kalau sudah berbicara, mohon maaf saja. Ia merasa lebih baik disuruh berbicara bahasa Sunda daripada Jawa.

Ia segera keluar dari minimarket itu dan mulai kembali mengayuh sepedanya. Satu kebiasaan buruk Kana. Mendengarkan musik dengan earphone di jalan. Meskipun berbahaya, tetapi Kana suka. Ia merasa bisa menjadi apapun. Seakan tubuhnya terbawa angin dan menari bersama melodi. Pikirannya selalu melayang di saat seperti itu.

Matanya mengedar dengan cukup baik, melihat segala pemandangan sore hari daerahnya kini. Beberapa kali ia berhenti dan mengeluarkan ponselnya untuk sekadar memotret momen yang menurutnya menarik. Berkali-kali ia melakukannya, hingga ada satu hal yang membuatnya mematung.

Pemandangan matahari yang mulai tenggelam di ufuk barat, bersamaan dengan gambar sawah yang menjadi latar bawah fotonya membuatnya sedikit terdiam setelah memotretnya. Sebuah kenangan masa lalu kembali terlintas. Kenangan belasan tahun yang lalu.

Kana teringat masa lalunya saat ia masih SD di Tangerang. Sawah di dekat sekolahnya menjadi tempat pertama kali Kana dekat dengan Alka. Kana tidak menyangka bahwa ia bisa kembali mengingat hal itu setelah bertahun-tahun ia tidak pernah mengingatnya kembali. Senja dan sawah itu menuntunnya berjalan mundur. Mengingat kembali masa indah yang terlupakan karena suatu keegoisan diri.

Air mata Kana kembali mengalir di pipi. Ia menangis dalam diam dengan matanya yang masih menatap pemandangan yang sama. Sejenak ia berpikir untuk kembali mundur ke masa itu. Namun, apa ia sanggup dengan semua hal yang ada, tentang perasaan negatifnya yang mungkin saja kembali menyerangnya.

Kana takut kalau ia tidak bisa.

Namun, Kana lebih takut bahwa ia tidak bisa kembali seperti dulu dengan Alka. Ia ingin kembali bersama pemuda itu. Pemuda yang selalu bersinar di matanya. Pemuda yang menjadi cinta pertamanya sejak kelas lima SD.

HITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang