Fluorine

29 14 23
                                    

F

"Fluere. Let it your life to flow. But, don't be careless, that's dangerous like fluorine."

.
.
.
❀❀❀❀❀❀❀
.
.
.

“Na! Kanaya Triastari!”

“Ape?” jawab yang dipanggil tanpa menoleh sedikitpun dari kertas HVS yang ada di hadapannya.

“Allahuakbar, Na! Ini bestie lo lagi ngomong, hei! Nengok dulu napa?!” omel Windy yang sedari memanggil sahabatnya itu.

Kana menghentikan kegiatan mengerjakan tugasnya dan menoleh ke Windy dengan tatapan yang sedikit aneh. Sedangkan Rindia yang sedari tadi juga berada di sana hanya bisa menggeleng pasrah melihat tingkah kedua sahabatnya yang terkadang seperti Tom & Jerry.

“Apa, Windy Artika Putri, bestie-ku yang cantik jelita.”

“Eh, Na. Gue mau tanya. Lo ngambil kelas matkim* yang ganjil ‘kan, ya?”

*Matematika Kimia.

“Iya. Kenapa?”

“Si Frans masih sering masuk kelas enggak? –“

Tidak. Inti dari jawaban yang Kana berikan pada Windy adalah itu. Baik di kelas ataupun di kampus, Kana jarang sekali melihat adik tingkatnya yang satu itu. Ya, rasanya sudah menjadi rahasia umum jika pemuda itu sering bolos kelas. Bahkan pada akhirnya, seminggu sebelum hari pelantikan pun ia memutuskan untuk tidak bergabung dengan himpunan. Seakan ‘hidup segan mati tak mau’. Itulah gambaran kehidupan adik tingkatnya di kampus, menurut orang-orang.

“ – Ah, anak itu! Udah mau UAS juga,” keluh Windy.

“Lo kenapa, sih, Win? Perhatian banget sama tuh anak?”

“Duh! Gimana ya, Na. Gue ‘kan katalis doi yang perhatian, berhati ibu peri, ya, Bun. Enggak bisa gue ngeliat hal-hal kek gini. Ya... Walaupun anaknya juga ujung-ujungnya non-him sih,” canda Windy dengan gaya centil khasnya.

“Serah lo dah.”

“Tapi, biasa enggak, sih? Setiap angkatan pasti punya orang yang ngilang kayak gitu? Angkatan kita juga si Evan ‘kan gitu dulu, sampe akhirnya dia milih buat pindah kampus, ‘kan?” jelas Rindia.

Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa kampus mereka menjadi kampus yang hebat di Indonesia. Banyak yang beranggapan bahwa yang ada di kampus itu adalah orang-orang hebat. Namun, mereka tidak tahu bagaimana di dalamnya. Banyaknya tekanan dan ekspektasi membuat sebagian orang tidak kuat dengan kampus itu. Bahkan saat sidang penerimaan, bagian bimbingan konseling selalu membuka jumlah ‘kasus’ setiap tahunnya.

Jika bukan karena prinsipnya, sepertinya Kana juga akan menjadi salah satu dari orang-orang itu. Namun, rasanya tanggung. Sudah lebih dari dua tahun ia di kampus ini dengan semua tekanan yang ia terima. Akan sia-sia jika ia berhenti di tengah jalan, meskipun ia sendiri tidak tahu apakah ia akan mampu.

*******

Minggu ujian akhir semester.

Salah satu agenda yang menjadi momok bagi seluruh mahasiswa kampus. Terlebih, jika mata kuliah yang diambil tidak memiliki ujian perbaikan. Tempat di mana mereka bisa memperjuangkan nilai C di tangan. Namun, bukan kampus mereka namanya jika tidak memberikan soal yang kadang membuat otak berputar layaknya mesin gigi yang telah usang.

Berkali-kali Kana memijat kepalanya dengan pulpen karena pusing. Penentuan struktur, reaksi, dan juga produk mendominasi inti soal yang ada di kertas. Dan itu merupakan hal yang sulit. Terlebih tidak hanya satu dua produk yang mungkin dihasilkan dalam reaksi yang sama. Jika ditanya apakah Kana bisa mengerjakan soal itu? Tentu saja ia bisa. Hanya saja, ia tidak tahu apakah jawabannya benar atau tidak. Ia ingat di ujian sebelumnya, ia merasa bahwa apa yang ia kerjakan sudah baik. Namun, hasil yang ia dapat jauh di bawah ekspektasinya.

HITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang