O
"I want to free breathe oxygen without feel tight when beside you. Can i feel that?"
.
.
.
❀❀❀❀
.
.
.13/45.
Itulah angka yang tertulis di pojok kanan lembar jawaban kuis milik Kana. Matematika Kimia, mata kuliah yang sama sekali tidak Kana mengerti, dan ini kali keduanya mengambil kelas itu. Entah apa yang salah dengan dirinya, ia merasa sudah cukup mengerti pelajarannya dibandingkan tahun lalu, tapi kenapa nilainya tetap saja tidak lebih dari batas minimum kelulusan?
Sebentar lagi minggu ujian tengah semester dimulai. Namun, ia masih khawatir dengan semua yang ada. Kenapa juga ia memilih mendaftar di kampus ini saat seleksi rapor dulu? Sekarang Kana mempertanyakan kelayakan dirinya berada di kampus yang masuk urutan tiga besar rangking nasional itu.
Lapar. Semua pikiran itu membuat Kana lapar. Ia langsung melangkah pergi begitu kelas itu selesai tanpa basa-basi. Toh mayoritas mahasiswa yang mengambil mata kuliah itu adalah adik tingkatnya, bukan teman angkatannya. Langit sudah mulai menggelap saat Kana keluar dari ruangan. Suara azan pun jelas berkumandang dari masjid kampus yang berada di seberang jalan utama. Sepertinya ia akan mampir ke masjid itu dulu sebelum pulang.
“Kana! –“ seru seseorang dari belakangnya.
Windy mempercepat langkahnya menyusul sahabatnya yang kini berdiri di perbatasan Aula Timur dengan Gedung FSRD*. Kana lupa kelas apa yang baru saja dilalui oleh Windy dan teman-teman angkatannya. Ah, tidak! Lebih tepatnya Kana tidak peduli dengan jadwal anak-anak angkatannya yang kini berbeda dengannya. Jika ia mengingatnya, itu membuat Kana semakin tersadar ada perbedaan jauh antara mereka.
“ – Baru kelar kelas? Mau kemana sekarang? Pulang?”
“Mau ke masjid dulu paling. Jam segini biasanya masih macet di simpang. Takut kelewat Maghrib gue.”
“Oh, yaudah. Gue bareng ya!”
Keduanya mulai kembali berjalan menuju pintu keluar terdekat dengan masjid. Namun, saat dekat dengan parkiran Seni Rupa, keduanya melihat seorang pemuda yang mungkin saja usianya sama dengan mereka. Windy yang terdiam membuat Kana bingung. Mata Kana yang sedikit rabun menyipit hingga ia bisa melihat lebih jelas siapa pemuda itu.
Adik tingkat mereka yang kini tengah asyik dengan benda kecil yang terapit di antara jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya. Asap abu tergambar samar di udara, melebur dengan cahaya lampu jalan yang menerangi sekitarnya. Pemuda itu cukup memiliki catatan buruk dengan bolos acara osjur sejak minggu kedua pelaksanaan.
“Itu Frans, uranium ‘kan? Kalau gue enggak salah inget, lo katalis kelompoknya ‘kan? –“ tanya Kana. Namun, Windy tetap terdiam. Itu sudah cukup untuk menjawab semua pertanyaan Kana barusan. “ – Mau nyamperin dia? Kayaknya ada yang mesti lo berdua bicarakan.”
Windy masih tetap terdiam. Namun, kali ini sepertinya gadis itu tengah berpikir. Dan sesaat kemudian, ia meminta maaf pada Kana karena harus menemui adik tingkat mereka terlebih dulu dan membiarkan Kana pergi sendiri. Kana mengerti dan mengizinkan Windy untuk berbicara dengan pemuda itu. Entah apa yang mereka bicarakan kini. Yang Kana tahu, tubuh keduanya terlihat sedikit tegang di mananya. Tidak ingin ikut campur, Kana memilih untuk melangkahkan kakinya dari tempat itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
HI
Fiksi Remaja'Mereka bilang, kita kuat. Nyatanya, kita lemah.' Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut sang gadis yang telah menahan perasaannya bertahun-tahun. ******* Alka Rizkian? Pemuda itu populer di jurusan bahkan di kampus, meskipun tidak sepopuler la...