Ne
"Like a neon, one of the inert gases. Sometimes you look passive when i interact with someone else."
.
.
.
❀❀❀❀❀❀
.
.
.Sudah lewat satu bulan sejak semester baru dimulai. Bahkan kini ujian pertama salah satu mata kuliah akan diadakan. Kana belum siap akan hal itu hingga membuatnya takut. Ia takut bahwa hal itu akan terjadi padanya lagi. Nilai D. Semakin ia memikirkannya semakin tidak keruan perasaannya. Pulpen yang sedari tadi ia gunakan untuk menulis catatan pun ia lemparkan dengan gusar. Buku yang sedari tadi terbuka pun menjadi sasaran tangannya untuk meremas.
Rasa kesal menyelimuti dirinya. Matanya pun terpaku pada suatu benda logam berbalut plastik yang tersimpan di tempat alat tulisnya. Ia ingin melakukannya, berharap rasa sakit yang ia rasakan bisa berpindah tempat. Namun, ia tahu bahwa hal itu salah. Dan yang kini bisa ia lakukan hanyalah menangis dalam diam di kamarnya dengan berharap tidak ada satupun yang tiba-tiba akan masuk ke dalam kamarnya.
Satu panggilan masuk dalam ponselnya dengan nama kontak yang ia kenal dengan sangat baik sejak ia masih bayi. Ia pun menghela nafas dalam-dalam, mencoba mengatur kembali ritme nafasnya yang berantakan beberapa saat yang lalu. Begitu ia berhasil, ia pun menerima panggilan itu.
“Assalamu’alaikum, Neng? Lagi di mana emang sekarang?”
“Wa’alaikumsalam. Lagi di kamar ngerjain tugas,” jawabnya dengan suara sedikit terisak.
Ia tahu ayahnya menyadari isakan itu. Jika tidak, mana mungkin ayahnya berbicara dengan sangat lembut seraya menanyakan keadaannya sekarang. Kana mencoba untuk berbohong. Namun, ayahnya adalah ayahnya. Seorang yang sudah mengetahui Kana sejak kecil meskipun dulu mereka tidak terlalu dekat satu sama lain.
“Kenapa, Neng?”
“Capek. Kana capek, Yah,” jawab Kana dengan lemah. Bahkan sekarang ia sudah tidak bisa menahan air matanya lagi.
“Capek kenapa?”
“Enggak tahu. Kana cuma ngerasa apa yang Kana lakuin percuma. Kana udah berusaha keras, tapi hasilnya selalu enggak sesuai sama yang Kana harapin.”
“Masalah kuliah? Karena nilai kamu kemarin? –“ Tebakkan ayahnya itu benar. Namun, ia tidak bisa menjawabnya. Tangisannya kembali pecah dalam diam hingga ia tidak bisa mengeluarkan satu katapun. “ – Terus kamu maunya gimana sekarang? Mau berhenti aja?”
“Enggak mau…”
“Ayah enggak tahu kamu kuliah gimana. Pelajarannya gimana ayah juga enggak tahu. Ayah sama ibu enggak pernah kuliah. Tapi, ayah ingin kamu kuliah.”
“Kana tahu, Yah.”
Tangisan Kana semakin menjadi. Rasanya kini kepalanya mulai pusing. Ia benci jika situasinya sudah seperti ini. Inilah alasannya mengapa sejak ibunya meninggal, Kana lebih senang menyimpan masalahnya sendiri dibandingkan membicarakannya pada sang ayah. Bukan, bukan karena ia tidak tahu diuntung setelah mendapatkan wejangan. Namun, ada kalanya Kana hanya ingin orang lain mendengarkan keluh kesahnya saja tanpa membalas apapun. Apa yang akan ia lakukan setelahnya, Kana sudah tahu apa jawabannya. Ia hanya ingin melepaskan bebannya saja. Tapi, terkadang perkataan ayahnya justru membuat Kana semakin merasa tidak keruan atas rasa bersalah yang ada.

KAMU SEDANG MEMBACA
HI
Fiksi Remaja'Mereka bilang, kita kuat. Nyatanya, kita lemah.' Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut sang gadis yang telah menahan perasaannya bertahun-tahun. ******* Alka Rizkian? Pemuda itu populer di jurusan bahkan di kampus, meskipun tidak sepopuler la...