Perempuan yang rambutnya dicepol satu di atas kepala dan memakai kaus putih oblong, tengah bertopang dagu pada meja ruang tamu yang penuh tempat pensil warna. Di sampingnya, sang putra tersayang sedang memusatkan penuh perhatian pada buku gambar.
Ditarik olehnya dengan perlahan tiap garis atau lengkungan agar tak menimbulkan kesalahan. Lembayung sesekali tersenyum tipis melihat wajah serius Pandu, tangannya terkadang spontan mengusap lembut rambut anak belia itu.
Ketertarikan lebih akan hal menggambar milik Pandu sudah tak menjadi hal aneh bagi Lembayung, sang putra telah menunjukkannya kala masih berusia empat tahun dan ia merasa Pandu telah menemukan bakatnya.
"Ib—"
Sunggingan senyum di wajah Lembayung sontak surut kala panggilan untuknya terhenti lantaran napas Pandu mendadak tersengal hingga ia memegangi dada, membuat Lembayung menegakkan punggung dan menatap sang putra cemas.
"Kenapa?!"
"E..nggak bi..sa—"
"Tenang, Pandu. Coba ambil napas pelan-pelan, ya." Lembayung menitah sembari mengusap punggung Pandu pelan. "Ibu ambil inhaler dulu."
Lembayung berlari tergesa-gesa ke kamar Pandu yang mungkin mampu mengalahkan cepatnya harimau berlari mengejar mangsa. Ia mengobrak-abrik meja belajar mencari benda mungil tersebut tetapi nihil.
"IBUUU!!"
Kerutan di antara alisnya semakin kentara, degup jantungnya pun semakin terpompa cepat. Lantas dengan tergopoh, ia merogoh tas merah Pandu dan langsung menemukan apa yang dicari. Lembayung kembali menghampiri Pandu lalu segera membuatnya menghirup banyak-banyak oksigen dari benda tersebut.
Selagi Pandu sibuk mengatur oksigen yang keluar-masuk, Lembayung mengusap punggung Pandu untuk membantunya tenang.
"Haaah..." Pandu menghela napas panjang kemudian menyandarkan punggung pada badan sofa di belakangnya.
"Gimana napasnya? Udah lega?"
Anggukkan kepala dari Pandu membuat Lembayung ikut menghela napas panjang, membuang rasa resah yang sempat melanda kemudian menarik putranya untuk didekap.
Pandu terkekeh kecil seraya menepuk-nepuk lengan Lembayung pelan. "Maaf udah bikin Ibu khawatir, tapi sekarang aku udah nggak apa-apa, kok."
"Ibu tahu." Lembayung melepas pelukannya lantas menangkup wajah Pandu dengan kedua tangan. "Karena..."
"Karena kalau ada Ibu, aku nggak akan kenapa-napa," sambung Pandu.
"Pinter." Lembayung tertawa kecil seraya kembali mengusap rambut Pandu sayang. "Oh iya, Pandu, inhaler kamu kok berat? Seinget Ibu tuh inhalernya udah enteng banget kemaren."
"Iya. Inhalernya habis waktu di rumah ayah, jadi dibeliin yang baru sama ayah."
"Tapi waktu sesak napas di rumah ayah, nggak apa-apa, 'kan?"
"Enggak apa-apa, kok, Bu," jawab Pandu seraya tersenyum.
Membicarakan Erlang, membuat Lembayung teringat akan pesan singkat yang pria itu kirimkan tempo hari lalu.
"Pandu." Panggilan Lembayung membuat Pandu yang kembali menggambar berdeham menyahutnya. "Kemaren ada pengumuman apa di sekolah?"
"Oh iya, aku lupa!" Pandu berseru lantas menghadapkan dirinya pada Lembayung. "Kemaren bu guru bilang mau ada rapat ujian akhir semester, terus minggu depan semua orang tua murid harus dateng, Bu."
Lembayung mendadak tersentak, gejolak aneh bagai enggan dan takut melanda dirinya. Tak menyangka hari itu akan tiba lagi secepat ini, rasanya baru kemarin ia berbohong perihal absennya Erlang di rapat tersebut pada enam bulan lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Through with U | Bluesy ✓
Художественная прозаGuratan takdir membuat Lembayung mengalami keterpurukan. Dikucilkan masyarakat, diasingkan keluarga, serta hilang kepercayaan pada orang-orang. Di samping itu, Abhimanyu mati-matian membawa Lembayung keluar dari situasi tersebut. Orang-orang juga be...