25

347 57 6
                                    

Fajar telah menyingsing, kicauan burung nan merdu bagai menyambut pagi terdengar dan buat pendengaran terasa tenang. Pun, sinar mentari dengan berani binari awak-awak manusia bagai beri energi hingga senja menyambut di penghujung hari.

Lembayung dengan lenggang berjalan di lorong pengadilan menuju ke luar. Lengan kirinya mendekap berkas serta yang lainnya memegang handphone, bibirnya sibuk ucapkan rentetan kegiatan perihal pencarian bukti-bukti dengan lawan bicaranya di sebrang sana.

Tatkala kedua kakinya sukses menyentuh anak tangga pertama, pergerakannya dihentikan oleh sepasang kaki lain yang menghalangi lalu pandangannya spontan terangkat mencari tahu siapa pemiliknya.

Keduanya saling memandang tetapi dengan mimik berbeda, Lembayung yang tunjukkan kemarahan dan kekecewaannya sementara Abhimanyu menatapnya penuh tanya dan harap. Saat perempuan itu dirasa sudah cukup muak bertatap, ia kembali mengambil langkah menghiraukan keberadaan Abhimanyu.

"Ji, gue perlu ngomong sama Bayung," ucap Abhimanyu yang segera beranjak menyusul Lembayung.

Jibran sendiri tak berniat menghalangi, justru ia berharap agar kemarahan Lembayung telah reda dan mau mendengarkan penjelasan Abhimanyu lebih lanjut. Abhimanyu dengan cekatan menghalau Lembayung yang hendak membuka pintu mobil taksi online.

"Nanti kita lanjut lagi, ya," ujar Lembayung pada sambungan telepon. Ia lantas memalingkan wajah dan berdiam diri menunggu apa tujuan Abhimanyu menghalanginya.

"Bayung, kenapa kamu tega lakuin ini sama aku? Kamu laporin aku ke polisi dan bawa permasalahan ini ke pengadilan," tutur Abhimanyu. "Aku tau kamu pengacara dan bisa bawa kasus apapun dan kapanpun kamu mau, tapi ini aku, Bayung."

"Kamu mau ngomong sebanyak apapun, pertanyaan aku masih sama." Lembayung beralih menatapnya. "Kamu punya bukti? Gimana aku mau percaya sama omongan kamu kalau di sisi lain aku pegang bukti yang nunjukin kamu bener-bener bersalah. Kamu bilang aku tega? Kamu yang tega misahin aku sama Pandu!"

Hati Abhimanyu mencelos bukan main. Dari banyaknya napas yang ia ambil, tak pernah sedikitpun ia berani berniat memisahkan dua orang yang amat ia sayangi itu. Tetapi sepertinya Lembayung benar, sebanyak apapun ia membela diri itu tak ada artinya jika perempuan itu begitu menutup pandangan darinya.

"Kamu nggak percaya sama aku?"

"Enggak!" Lembayung menjawab cepat. "Kamu udah bener-bener bikin rasa percaya aku hancur lagi."

"Tapi kamu 'kan udah ngomong janji buat percaya sama aku."

"Kapan aku ngomong?"

"Apa maksudnya kapan?" Abhimanyu mengernyit. "Waktu—"

"Bayung, janji kalau kamu enggak akan pernah kehilangan kepercayaan sama aku."

"Bay—ADUUH!!! Aduh! Sori! Gue cuma mau nganterin daging buat dicuci doang, bukan mau ngeganggu."

Abhimanyu ingat. Hari itu Lembayung hampir saja mengucapkan janji, tetapi Selia datang memergoki.

"Aku nggak pernah pegang janji apapun sama kamu," ucap Lembayung tegas. "Aku udah salah ngira kalau kamu akan jaga kepercayaan aku, tapi ternyata kamu yang lebih besar bikin rasa percaya itu hancur ngelebihin Erlang!"

"Bayung, Erlang dalang di balik kecelakaan itu," ujar Abhimanyu to the point.

Kini Lembayung sukses dibuat terkejut sekaligus bingung dengan penuturan Abhimanyu, ia menatap lelaki itu tak percaya. "Bagus, sekarang kamu limpahin semua kesalahan kamu sama Erlang."

"Aku nggak limpahin kesalahan." Abhimanyu bergerak mengambil sebuah kertas dari saku celananya. "Kamu liat ini, sobekan lain dari catatan Pandu. Di sini Pandu nulis, waktu aku lagi asyik makan ayam tiba-tiba ayah dateng terus langsung meluk aku. Aku tanya ayah dari mana dan katanya habis pulang kerja, aku juga liat baju depan ayah ada warna hitam kayak oli dan tangan ayah juga kotor bekas oli.

"Bayung, dia bukan habis pulang kerja, tapi habis nemuin aku. Malam itu aku pergi ninggalin Pandu karena Erlang ngajak aku ketemu dan oli itu karena dia udah sengaja ngerusak rem mobil aku."

"Keterlaluan! Jadi maksud kamu, Erlang sengaja mau nyelakain Pandu?!"

"Dia bukan mau nyelakin Pandu, tapi aku. Dia mau aku yang celaka supaya bisa lebih bebas deketin kamu." Abhimanyu berucap yakin. "Waktu ketemu, dia banyak banget ngomong yang enggak-enggak soal kita. Dia bahkan terang-terangan ngomong kalau dia nggak suka kalau aku akan nikah sama kamu, dan dia mau gantiin posisi aku.

"Dan kenapa waktu pemakaman Pandu dia nggak dateng? Sampai sekarang dia juga belum muncul, kenapa? Karena dia takut sama perbuatannya yang justru menimpa Pandu." Abhimanyu terdiam sebentar. "Bayung, tolong kamu inget kalau Erlang itu benci banget sama aku."

Lembayung beralih memegang pelipisnya, rasanya pening sekali. Entah sebuah tuduhan atau kebenaran yang tengah Abhimanyu katakan saat ini, yang jelas Lembayung tak tahu harus menanggapinya dengan bagaimana.

"Bayung, kamu mau ke mana?" Abhimanyu menahan lengan Lembayung saat melihatnya hendak masuk mobil tanpa menanggapi apa yang ia katakan.

"Lepasin."

"Jawab dulu semua omongan aku."

"Lepasin!"

Lembayung segera menggeser awak yang lebih jangkung usai pegangan Abhimanyu dari lengannya dilepas, lalu ia membuka pintu mobil.

"Bayung." Panggilan Abhimanyu kembali menghentikan aksi Lembayung. "Aku tunangan kamu, aku harus gimana lagi biar kamu percaya sama apa yang aku omongin?"

Keduanya bungkam bersamaan. Si tuan memandang sang puan penuh harap sementara yang dipandang sedang mencoba kuatkan hatinya. Lembayung sontak berbalik badan, bersamaan dengan itu Abhimanyu memandangnya bingung saat Lembayung beralih melepas satu-satunya cincin dari jari manisnya.

"Kamu mau apa? Kenapa cincinnya di—" Ucapannya terpotong sebab Lembayung melepar cincin tersebut ke arahnya, cincinnya memantul tubuh Abhimanyu dan berakhir menggelinding di atas jalanan.

"Cincin tunangan kita udah aku lepas, jadi kamu ngga usah ngelakuin apa-apa."

Usai berucap demikian, Lembayung segera masuk ke dalam mobil dan pergi. Melihat Abhimanyu hanya bisa berdiam menatap sedih kepergian taksi Lembayung, Jibran menghampirinya.

"Udah, Bhi," katanya menepuk bahu karibnya. "Mbak Bayung juga nggak bisa disalahin sepenuhnya. Dia seorang ibu sekaligus pengacara, apalagi dia punya bukti yang menurutnya kuat soal penyebab anaknya meninggal. Kita emang masih lemah kalau soal bukti, tapi itu bukan berarti lo putus asa kayak gini."

"Kalau dia yakin penuh sama bukti yang dia pegang, lo juga harus yakin sama apa yang lo percaya," lanjut Jibran. "Sekarang kita fokus aja buat cari bukti-bukti lain biar omongan lo semakin kebukti bener kalau Erlang yang bersalah."

Obrolan mereka diakhiri anggukan dari Abhimanyu lantas beranjak masuki pengadilan, sementara Lembayung pergi menemui seseorang yang telah mempunyai janji dengannya.

Setelah sampai, Lembayung segera tahu bahwa seseorang yang tengah bersandar pada badan mobil tersebut adalah orang yang akan ia temui lantaran sudah bertukar informasi sebelumnya. Ia bergegas menghampiri pria rapih berkemeja tersebut.

"Selamat pagi," sapa Lembayung.



- to be continued.

Through with U | Bluesy ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang