Tubuh itu sudah berdiam diri kurang lebih lima belas menit di atas kursi meja kerjanya. Ibu jarinya sesekali mengusap permukaan kaca disertai matanya yang sendu memandangi bingkai kecil berisikan foto Pandu.
Sudah berhari-hari sejak kepergian Pandu. Hampa rasanya ketika tiap malam ia tak lagi bisa selalu memeluk daksa kecil itu, sekarang tinggal lah kenangan yang bisa ia dekap erat-erat.
Direnggut orang terkasihnya dalam hidup secara tiba-tiba membuat Lembayung belum sepenuhnya rela, dirinya masih dihantui rasa gelisah. Ia berpikir, jika penyebab semua ini bukan suatu kelalaian seseorang maka ia akan menerimanya, tetapi nyatanya justru seperti itu dan pelakunya adalah Abhimanyu, tunangannya sendiri.
Bulir air mata Lembayung kembali lolos untuk kesekian kalinya, ia sangat merindukan Pandu tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa selain menangis memandangi fotonya. Lembayung sontak berjengit kaget kala merasakan bahunya disentuh seseorang.
Lembayung dengan cekatan menyapu jejak air mata di pipinya, ia lantas menengadah memandang Selia di sebelah kursinya.
"Gue juga kangen banget sama Pandu," ujar Selia. "Ada banyak hal yang mau gue lakuin sama Pandu, tapi ternyata takdir berkata lain."
Lembayung hanya mengangguk-angguk, ia menguatkan hatinya dan menahan agar air matanya tak kembali luruh.
"Bayung, lo yakin mau tetep lanjutin kasus ini?" Selia bertanya dan langsung diangguki oleh sang lawan bicara.
Selia sendiri sebetulnya amat ragu dengan keputusan Lembayung yang satu ini. Ia tahu bahwa karibnya itu adalah seorang pengacara, tetapi ia sama sekali tak pernah berpikir akan menyaksikan Lembayung melawan tunangannya sendiri.
"Ya udah, lo siap-siap dulu. Gue ke ruang sidang duluan, ya." Ucapan Selia hanya kembali mendapatkan sebuah anggukan.
Usai Selia beranjak dari ruang kerjanya, Lembayung bergegas memakai jubah hitam serta mengambil satu-satunya berkas yang ada di atas meja sebelum pergi. Tetapi baru saja kakinya hendak melangkah, ia melihat Abhimanyu memasuki ruangan.
Lembayung kontan memalingkan wajah, sementara Abhimanyu berjalan mendekat.
"Bayung, kamu yakin mau lanjutin kasus ini?" tanya Abhimanyu.
"Kenapa?" Lembayung beralih menatap tajam pada Abhimanyu. "Kamu takut kalau nanti akan dipenjara?"
"Bukan soal itu. Tolong dengerin aku dulu soal bukti yang—"
"Soal kebenaran bukti biar pengadilan aja yang mutusin," sela Lembayung. "Aku dan bukti-bukti kuat atau kamu sama tuduhan dan bukti yang palsu."
Abhimanyu menggeleng kuat. "Itu bukan tuduhan atau bukti palsu, Bayung. Aku juga punya bukti kuat dan orang itu bener-bener akan dipenjara nantinya."
Lembayung samar-samar tertawa kecil. "Kalau kamu mau tau, tuduhan dan bukti palsu kamu itu nggak akan bikin Erlang masuk penjara. Justru kamu yang akan dipenjara karena bukti yang aku punya!"
"Bayung, denger—"
"Stop, Ab—"
"Kenapa?" Abhimanyu bertanya. "Kenapa nggak diterusin? Bahkan kamu nggak mau nyebut nama aku lagi?"
Lembayung tak dapat lagi berkutik, ia memilih palingkan wajah kembali lalu melenggang pergi meninggalkan Abhimanyu.
"Bayung!" Abhimanyu memanggil tetapi perempuan itu malah kian mempercepat langkahnya.
Abhimanyu sendiri tak bisa menghentikan sikap Lembayung yang begitu abai, kini kesempatan untuk dirinya menjelaskan semuanya sudah lenyap. Selanjutnya, ia hanya dapat menunggu putusan pengadilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Through with U | Bluesy ✓
General FictionGuratan takdir membuat Lembayung mengalami keterpurukan. Dikucilkan masyarakat, diasingkan keluarga, serta hilang kepercayaan pada orang-orang. Di samping itu, Abhimanyu mati-matian membawa Lembayung keluar dari situasi tersebut. Orang-orang juga be...