Sepasang kaki jenjang itu berlari cepat susuri lorong rumah sakit diikuti oleh beberapa pasang kaki yang lain, napasnya memburu serta air matanya sudah mengalir deras. Lembayung, Selia, Kirana, dan Jibran membuat lantai rumah sakit terdengar begitu berisik dengan ketukan sepatu mereka.
Lembayung melihat Abhimanyu terjongkok memandangi pintu ICU di hadapannya. Tanpa bertanya, Lembayung dapat menyimpulkan bahwa Pandu ada di dalam sana. Lembayung memilih menghampiri pintu tersebut bersama Selia sementara Jibran dan Kirana mendekati Abhimanyu.
"Kenapa kejadiannya bisa kayak gini?" Jibran bertanya pada Abhimanyu yang wajahnya kacau bukan main. Rambutnya hampir tak lagi tertata, bajunya berlumuran banyak darah, dan tangannya masih bergetar. Abhimanyu menggeleng frustasi sebagai jawaban.
Di depan sana, Lembayung terisak hebat menyaksikan Pandu yang tubuhnya masih dibersihkan oleh dua perawat dari darah yang keluar. Kepalanya ditolehkan pada Abhimanyu lalu perlahan mendekatinya, ekspresi wajah tak keruan dilengkapi dengan derasnya air mata yang mengalir kian membuat Abhimanyu ketakutan.
Abhimanyu beralih berdiri. Lembayung memilih diam sembari menatap manik Abhimanyu bergantian, ia yakin lelaki itu sudah tahu kalimat yang akan terlontar dari bibirnya.
"Aku tadi lagi dijalan pulang sama Pandu dan—"
"Siapa yang nyetir mobilnya?" potong Lembayung.
"Aku," cicit Abhimanyu, membuat Lembayung memalingkan wajah. "Tapi itu bener-bener diluar kendali aku, remnya—"
"Dokter!!" Teriakan perawat dari ruangan Pandu memotong kalimat Abhimanyu. "Dokter, detak jantung pasien semakin lemah!"
Lembayung membelalak lalu menghampiri perawat itu bersamaan dengan datangnya sang dokter. "Dokter, tolong selamatkan anak saya!"
"Tolong, biarkan kami menanganinya dulu." Jawaban yang diberikan tersebut sama sekali tak membuat perasaan Lembayung membaik, justru yang ada hanya sesak relung dada oleh ketakutan nan melanda.
Lembayung tak bisa berbuat apa-apa kala perawat menutup jendela yang menjadi satu-satunya akses untuk melihat keadaan Pandu di dalam sana dengan tirai. Selia berkali-kali mengusap bahu Lembayung meredakan raungan tangisnya. Lembayung hanya bisa merapalkan satu doa dan harapan, tolong jangan renggut kehidupannya.
Sementara di dalam ruang ICU, Dokter mencoba mendengarkan detak jantung Pandu menggunakan stetoskop, membuka mata Pandu bergantian kemudian beralih pada alat pantau kondisi pasien yang angkanya kian menurun.
"Perawat, tolong ambilkan alat pacu jantung!" titahnya.
Sekali, dua kali ia kerahkan tenaganya untuk membantu kondisi kritis Pandu kembali normal, tetapi hasilnya begitu diluar harapan. Tubuh Pandu tak merespon kejutan itu sama sekali dan berakhir dengan suara nyaring monitor pasien yang bagai menggema di seluruh ruangan hingga menembus keluar.
Lembayung meremat bajunya sendiri kala mendengar bunyi tersebut, ia melangkah mundur seraya kepalanya menggeleng. "Selia, itu bukan dari ruangan Pandu, 'kan?"
"Bayung—" Selia memotong ucapannya sendiri saat melihat pintu ruang ICU terbuka.
Lembayung dan Selia spontan menghampiri dokter tersebut. "Dokter, anak saya baik-baik aja, 'kan?!"
"Tulang kakinya patah akibat ringsek pada bagian depan mobil. Ada luka dalam juga di kepalanya akibat benturan yang sangat keras, darahnya sampai tidak mau berhenti dan menyebabkan dia kehilangan banyak darah." Dokter itu berhenti sejenak. "Kondisinya sangat kritis, pasien tidak mau merespon alat pacu jantung yang saya berikan. Saya turut berduka cita."
"Enggak, Dokter!" Lembayung berteriak. "Anak saya pasti nggak apa-apa, tolong jangan bilang begitu!" Lantas Lembayung menyatukan kedua tangan memohon. "Tolong selamatkan anak saya. Saya nggak minta apa-apa lagi, cuma itu aja ..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Through with U | Bluesy ✓
General FictionGuratan takdir membuat Lembayung mengalami keterpurukan. Dikucilkan masyarakat, diasingkan keluarga, serta hilang kepercayaan pada orang-orang. Di samping itu, Abhimanyu mati-matian membawa Lembayung keluar dari situasi tersebut. Orang-orang juga be...